Translate

27 Agustus, 2009

FONDASI CAKAR AYAM

FONDASI CAKAR AYAM

Fondasi cakar ayam ditemukan oleh Prof. Dr.Ir. Soedijatmo pada tahun 1961 untuk menangani masalah tanah lunak yang memiliki daya dukung rendah. Dasar pemikiran fondasi cakar ayam ini adalah memanfaatkan karakteristik tanah yang tidak dimanfaatkan oleh sistem fondasi lain, yaitu tekanan tanah pasif. Fondasi cakar ayam banyak digunakan pada tanah lunak maupun tanah timbunan. Pada tanah timbunan, akibat dari pembebanan akan menyebabkan tanah timbunan melesak. Fondasi cakar ayam ini banyak digunakan untuk fondasi menara, fondasi landasan pacu pesawat udara dan fondasi perkerasan jalan, yang terletak di atas tanah lunak.
Fondasi cakar ayam terdiri dari pelat beton bertulang dengan tebal 10 cm sampai 15 cm. Pipa-pipa beton dihubungkan di bawah pelat beton secara monolit pada jarak antara sumbunya 2,5 m sampai 3,0 m. Panjang pipa-pipa beton adalah 1,5 m sampai 3,5 m dan diameternya 1,2 m atau 1,5 m dengan tebal dinding pipa 8 – 10 cm. Sistem fondasi disajikan pada Gambar 1 dibawah ini. Pada prinsipnya, fondasi cakar ayam dapat digunakan pada tanah dengan kapasitas dukung 1,5 – 3,5 ton/m2.

A. Prinsip Dasar Fondasi Cakar Ayam

Prinsip dasar fondasi cakar ayam ini adalah memanfaatkan karakteristik tanah yang telah ada yaitu tekanan tanah lateral, dimana prinsip ini masih jarang digunakan pada sistem fondasi lain. Tekanan tanah lateral adalah gaya yang timbul di belakang cakar akibat dari pembebanan pada pelat. Tekanan tanah lateral yang timbul akan melawan rotasi cakar dan memperkecil lendutan.

Sistem fondasi ini amat cocok untuk digunakan pada tanah timbunan atau tanah rawa. Dimana pelat beton bertulang yang tipis akan mengapung di atas tanah rawa atau tanah lembek. Kemudian pada bagian bawah pelat, dipasang pipa-pipa beton sebagai cakar yang berfungsi sebagai pengaku agar pelat beton tetap berdiri kokoh. Pipa-pipa beton ini dapat berdiri tegak dikarenakan adanya tekanan tanah lateral di dalam tanah. Kombinasi ini membuat pelat dan pipa-pipa menjadi konstruksi yang kaku dan tidak mudah digoyahkan.

B. Beberapa Pendapat Mengenai Fondasi Cakar Ayam

Hadmodjo (1994) menyatakan bahwa konstruksi cakar ayam terdiri dari sebuah pelat beton, dibawah pelat dihubungkan pipa beton secara monolit. Slab beton yang tipis tersebut seolah-olah mengapung diatas tanah dan kekakuannya diperoleh dari pipa-pipa yang ada dibawahnya. Pipa tersebut tetap vertikal dan fungsi dari pipa-pipa tersebut tidak untuk menumpu pelat, tetapi untuk menjaga agar pelat tetap kaku dan datar disebabkan pipa-pipa tidak mencapai lapisan-lapisan tanah keras dibawah pelat sehingga pipa-pipa pada sistem cakar ayam adalah sebagai pengaku pelat.

Sudarsono (1997) menyatakan fondasi cakar ayam adalah pipa-pipa cakar ayam yang dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak sampai menyentuh tanah keras. Pada keadaan tersebut pelat ditopang oleh tanah dasar dibawahnya sehingga bila bekerja beban Q maka tanah dasar ikut menahannya sehingga tugas pelat lebih ringan, sementara momen tekuk yang timbul pada slab akan diteruskan oleh pelat tersebut ke pipa-pipa cakar ayam yang mempunyai hubungan kaku dan diteruskan oleh pipa-pipa cakar ayam ketanah disampingnya dan ditahan oleh tekanan lateral.

Menurut Suraatmaja (1981), pengaruh tebal pelat atau balok akibat bebaan yang terjadi mengalami perbedaan lenturan. Semakin tipis pelat, lendutan (δ) semakin besar dan momen lentur (Mo) semakin kecil. Begitu pula sebaliknya, pelat tebal lendutan (δ) kecil dan Mo besar. Dalam memperkecil lendutan dan gaya-gaya dalam yang terjadi ditentukan oleh jarak cakar (a) dimana keadaan tersebut mengakibatkan efektif atau tidak efektif cakar ayam dalam memperkecil hal tersebut. Beban (Q) tidak mempengaruhi besarnya jarak cakar, melainkan dipengaruhi oleh modulus elastisitas pelat (Ep), koefisien reaksi subgrade vertikal (kv) dan besarnya momen inersia penampang pelat (Ip).

C. Hasil Penelitian Fondasi Cakar Ayam

Dari penelitian fondasi cakar ayam didapatkan pengaruh dimensi fondasi, nilai kh dan kv terhadap lendutan fondasi.
Pada tahun 1982, studi sistem cakar ayam dilakukan oleh konsultan Aeroport de Paris (dalam Hardiyatmo,1999) dengan model skala penuh di Bandara Sukarno Hatta Cengkareng. Hal ini dilakukan dengan mengukur lendutan pelat akibat beban, rotasi pipa dan regangan tulangan beton, dan juga mengukur koefisien subgrade tanah untuk arah vertikal (kv) dan arah horizontal (kh). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem cakar ayam mampu dibebani sampai 150 ton untuk 4 roda pesawat.

Suraatmaja (1982) melakukan analisis pada fondasi cakar ayam dengan metode Beams on Elastic Foundation menunjukkan bahwa jarak cakar efektif tidak dipengaruhi oleh besarnya beban Q, melainkan tergantung dari besarnya nilai λ.

Sudarsono (1982) menganalisis fondasi cakar ayam dengan menggunakan proses fatique pada tanah dasar. Studi menyimpulkan bahwa lendutan yang timbul pada pelat adalah akibat memadatnya tanah dibawah pelat. Oleh karena itu pemadatan tanah sebelum pelat di cor sangat dibutuhkan.

Chen dan Lima Sale (1982) menganalisis fondasi cakar ayam dengan metode elemen hingga dengan hasil yang menunjukkan bahwa analisis pendekatan dengan metode elemen hingga mampu menggambarkan perilaku sistem cakar ayam secara akurat. Selain itu disimpulkan bahwa kepadatan tanah subgrade dan dimensi pipa-pipa mempunyai pengaruh penting pada perilaku sistem cakar ayam.

Fukuoka (1988) melakukan penelitian sistem cakar ayam di laboratorium. Pengukuran-pengukuran saat pembebanan dilakukan pada sistem cakar ayam dan kemudian diadakan pendekatan secara numeris dengan metoda finite difference. Hasil studi menyimpulkan bahwa jarak pipa-pipa ada kaitannya dengan daya dukung dan penurunan. Daya dukung bertambah dengan kenaikan modulus elastisitas tanah dan adhesi antara tanah dan beton. Kepadatan tanah diantara pipa-pipa sangat berpengaruh pada daya dukung ultimit fondasi.

Hardiyatmo dkk, (1999), pada pengamatan model semi 3 dimensi fondasi cakar ayam menyimpulkan bahwa pada beban yang relatif kecil penyebaran lendutan pelat hanya sampai pada jarak 4,5 – 5d, dengan d adalah diameter luar cakar dan pada beban relatif berlebih pada kedua ujung pelat akan terangkat. Salah satu faktor yang menentukan kapasitas dukung tiang dalam menahan momen diujung tiang (rotasi) adalah nilai kh (koefisien reaksi horizontal tanah). Selain itu juga disimpulkan bahwa bila sistem cakar ayam terletak pada tanah yang berkonsolidasi, maka seluruh sistem akan ikut turun, sehingga fondasi cakar ayam hanya cocok untuk mendukung beban – beban (relatif berat) untuk jangka pendek. Untuk beban jangka panjang (beban statis), penurunan fondasi harus dibatasi oleh penurunan maksimum yang ditoleransikan.
Listyawan (2000) melakukan penelitian terhadap perilaku model 3 dimensi dari fondasi cakar ayam di laboratorium. Perilaku model menunjukkan bahwa kondisi paling kritis diperoleh apabila beban diantara 4 cakar dan terletak pada tepi pelat. Analisis menggunakan metode BoEF dengan kh = 2kv memberikan hasil lendutan 1,7 – 4,35 kali lebih besar dari lendutan model.

Pempadi (2000) memberikan usulan perancangan terutama untuk hitungan lendutan fondasi cakar ayam dengan metode BoEF. Dalam melakukan analisis lendutan pelat fondasi, Pempadi menggunakan metode BoEF untuk finite length pada model di laboratorium sedangkan unutk aplikasi di lapangan digunakan metode BoEF untuk infinite length. Dari studi yang dilakukan diperoleh bahwa dengan mengambil nilai kh = 2kv, diperoleh lendutan pelat yang mendekati dengan lendutan cakar ayam baik pada model di laboratorium maupun di lapangan.

Sumber : Desi Wiguntari

FONDASI


FONDASI

1. Pengertian Fondasi
Fondasi adalah bagian dari suatu sistem struktur yang berfungsi meneruskan beban yang ditumpu olehnya (termasuk beban sendiri) ke lapisan tanah atau batuan di bawahnya. Fondasi merupakan komponen struktur yang mempunyai bidang kontak (interfacing) terhadap tanah (Juniarti, 2004).

2. Kriteria pemilihan Jenis fondasi
Tipe fondasi yang paling cocok untuk suatu bangunan tergantung pada fungsi bangunan, beban yang dipikul, kondisi tanah serta biaya fondasi. Pertimbangan lain dapat digunakan, tetapi ketiga pertimbangan tersebut merupakan pertimbangan dasar. Berdasarkan kedalaman tanah pendukungnya, Bowles (1992) dalam Suryolelono (1994), menggolongkan jenis fondasi menjadi dua bagian, antara lain sebagai berikut ini.
1. Fondasi dangkal
Jenis fondasi ini umumnya mempunyai perbandingan antara kedalaman tanah dasar (D) dengan lebar fondasi (B) atau D/B ≤ 4, misalnya : fondasi telapak.
2. Fondasi dalam
Jenis fondasi ini mempunyai perbandingan antara kedalaman tanah dasar (D) dengan lebar fondasi (B) atau D/B ≥ 4, misalnya, fondasi tiang pancang, tiang bor dan kaison yang dibor.

2.1 Fondasi Tiang
Fondasi tiang digunakan untuk mendukung bangunan, bila tanah dengan kuat dukung tinggi terletak pada kedalaman yang cukup besar. Fondasi jenis ini dapat juga digunakan untuk mendukung bangunan yang menerima beban horizontal ataupun tarik cukup besar. Untuk mengimbangi pengaruh beban tersebut dapat diatasi dengan konstruksi fondasi tiang, seperti pada konstruksi dermaga, pemecah gelombang, tanggul pelabuhan, fondasi tangki minyak dan sebagainya (Suryolelono, 1994).
Fondasi tiang yang digunakan untuk beberapa maksud (Hardiyatmo, 2003), antara lain untuk :
1. meneruskan beban bangunan yang terletak di atas air atau tanah lunak, ke tanah pendukung yang kuat,
2. meneruskan beban ke tanah yang relatif lunak sampai kedalaman tertentu, sehingga fondasi bangunan mampu memberikan dukungan yang cukup untuk mendukung beban tersebut oleh gesekan dinding tiang dengan tanah di sekitarnya,
3. mengangker bangunan yang dipengaruhi oleh gaya angkat ke atas akibat tekanan hidrostatis atau momen guling,
4. menahan gaya horisontal dan gaya yang arahnya miring,
5. memadatkan tanah pasir, sehingga kapasitas ultimit tanah tersebut bertambah,
6. mendukung fondasi bangunan, apabila tanah di sekitar fondasi mudah tergerus air.
Berdasarkan pemakaian jenis fondasi tiang mengakibatkan berbagai jenis tiang digunakan sesuai dengan beban yang bekerja, bahan tiang maupun cara pelaksanaan pemancangannya.
Fondasi tiang dapat dibagi menjadi 3 kategori (Hardiyatmo, 2003) sebagai berikut :
1. tiang perpindahan besar (large displacement pile), yaitu tiang pejal atau berlubang dengan ujung tertutup yang dipancang ke dalam tanah, sehingga terjadi perpindahan volume tanah yang relatif besar. Termasuk dalam tiang perpindahan besar adalah tiang kayu, tiang beton pejal, tiang beton prategang (pejal atau berlubang), tiang baja bulat (tertutup pada ujungnya),
2. tiang perpindahan kecil (small displacement pile), yaitu sama seperti tiang perpindahan besar hanya volume tanah yang dipindahkan saat pemancangan relatif kecil, seperti tiang baja H, tiang baja bulat ujung terbuka, tiang ulir,
3. tiang tanpa perpindahan (non displacement pile) terdiri dari tiang yang dipasang di dalam tanah dengan cara menggali atau mengebor tanah. Tiang tanpa perpindahan adalah tiang bor, yaitu tiang beton dengan metode pen-cor-an beton langsung di dalam lubang hasil bor tanah.

2.2 Cara Meneruskan Beban
Tipe tiang berdasarkan cara tiang meneruskan beban, dapat dibedakan terhadap cara tiang meneruskan beban yang diterimanya ke tanah dasar fondasi. Hal ini tergantung juga pada jenis tanah dasar fondasi yang akan menerima beban yang bekerja (Suryolelono,1994).
1) Bilamana ujung tiang mencapai tanah keras atau tanah baik dengan kuat dukung tinggi, maka beban yang diterima tiang akan diteruskan ke tanah dasar fondasi melalui ujung tiang. Jenis ini disebut END / POINT BEARING PILE.
2) Bila tiang dipancang pada tanah dengan nilai kuat gesek tinggi (jenis tanah pasir), maka beban yang diterima oleh tiang akan ditahan berdasarkan gesekan antara tiang dan tanah sekeliling tiang. Jenis tiang ini disebut FRICTION PILE.
3) Bilamana tiang dipancang pada tanah dasar fondasi yang mempunyai nilai kohesi tinggi, maka beban yang diterima oleh tiang akan ditahan oleh pelekatan antara butiran tanah di sekitar tiang dan permukaan tiang. Jenis ini disebut ADHESIVE PILE.
Di lapangan, tipe tiang merupakan kombinasi dari ke tiga hal tersebut. Keadaan ini disebabkan jenis tanah merupakan campuran atau kombinasi tanah berbutir kasar, tanah berbutir halus dan kadang-kadang merupakan tanah yang kompak, sehingga cara tiang meneruskan beban ke tanah dasar fondasi, merupakan kombinasinya.

2.3 Cara Pemancangan Tiang
Dalam pemancangan tiang ke dalam tanah, tiang dipancang dengan alat pemukul yang dapat berupa palu (hammer) atau getaran. Metode pukulan pada prinsipnya adalah tiang didirikan di atas tanah dan ujung tiang lain (kepala tiang) dipukul agar tiang dapat masuk ke dalam tanah.
Ada beberapa jenis palu pancang yang digunakan untuk pemancangan (Suryolelono, 1994).
1. Palu jatuh bebas (drop hammer)
Drop hammer adalah alat pancang yang paling sederhana, berupa palu yang dijatuhkan dari atas. Palu ditempatkan diatas kepala tiang, ditarik dengan tinggi jatuh tertentu kemudian dilepas dan menumbuk kepala tiang.
2. Steam hammer
Alat ini sama saja dengan drop hammer, hanya saja untuk mengangkat palu (hammer) digunakan tenaga uap atau udara yang dihasilkan oleh mesin pancang.
Dua tipe alat ini, yaitu :
a. Palu gerak tunggal (single-acting hammer)
Palu gerak tunggal berbentuk piston yang bergerak naik oleh udara atau uap yang terkompresi, sedangkan gerakan turun piston secara jatuh bebas.
b. Palu gerak ganda (double-action hammer)
Palu gerak ganda menggunakan uap atau udara untuk mengangkat piston dan untuk mempercepat gerakan ke bawah. Kecepatan pukulan dan energi output biasanya lebih tinggi dari pada palu gerak tunggal.
3. Palu diesel (diesel hammer)
Palu tipe ini digerakan dengan menggunakan bahan bakar diesel. Energi pemancangan total yang dihasilkan adalah jumlah benturan dari piston ditambah energi hasil ledakan.
4. Palu getar
Palu getar merupakan unit alat pancang yang bergetar pada frekuensi tinggi.

3. Penyelidikan Tanah
Perencanaan suatu bangunan dimulai dengan penyelidikan tanah di lokasi proyek. Data mengenai penyelidikan tanah merupakan salah satu dasar yang menentukan dalam perencanaan jenis, kedalaman, dan kapasitas dukung fondasi. Hasil penyelidikan tanah diharapkan dapat memberikan informasi yang diperlukan sehubungan dengan pekerjaan yang akan dilaksanakan. Penyelidikan tanah mencakup penyelidikan di lapangan dan uji di laboratorium. Untuk fondasi tiang, data konsolidasi maupun kuat geser tanah tidak diperlukan, karena mengingat fungsi fondasi tiang yaitu menyalurkan beban yang bekerja ke tanah dasar fondasi yang memiliki kuat dukung tinggi.

4. Standard Penetration Test (SPT)
Metode SPT menggunakan jenis alat sederhana, berupa tabung standar dengan diameter 5 cm dan panjang 56 cm. Pertama-tama dibuat lubang bor, bila tanah mudah runtuhdapat digunakan silinder penahan (casing) dengan diameter lebih besar dari 5 cm. Setelah mencapai kedalaman yang diinginkan, tabung standar dibenamkan ± 15 cm. Selanjutnya tabung silinder standar dipancang sedalam 30 cm dengan palu seberat 64 kg, yang dijatuhkan dari ketinggian 76,2 cm. Dihitung banyaknya pukulan yang diperlukan untuk memancang masuk tabung silinder sedalam 30 cm. Jumlah pukulan dihitung sebagai nilai N.
5. Metode Dinamis
Metode dinamis telah banyak digunakan untuk memperkirakan kapasitas dukung tiang pancang. Dalam pemancangan tiang ke dalam tanah, sering dijumpai tiang mudah masuk ke dalam tanah, tetapi ada pula yang mengalami kesulitan untuk masuk ke dalam tanah. Kondisi semacam ini sangat dipengaruhi oleh jenis tanah setempat yang mempunyai karakteristik berbeda-beda. Makin padat kondisi tanah, maka makin sulit tiang masuk ke dalam tanah sehingga jumlah pukulan makin banyak. Prinsip di dalam pemancangan tiang adalah energi yang diberikan akan menjadi energi yang digunakan oleh tiang untuk masuk ke dalam tanah ditambah dengan energi yang hilang sewaktu tiang dipancang.

6. Bahan Tiang
Sesuai dengan beban yang bekerja pada tiang (ringan atau berat), maka jenis tiang dapat dibedakan terhadap bahan yang digunakan untuk membuat tiang. Untuk beban berat, maka bahan yang digunakan untuk pembuatan tiang disyaratkan mempunyai kuat desak atau tarik maupun lentur yang tinggi, hal ini dimiliki oleh jenis bahan seperti tiang dari baja maupun dari beton. Ada beberapa jenis bahan untuk tiang (Suryolelono, 1994), antara lain sebagai berikut ini.
a. Tiang Kayu
Jenis tiang ini biasanya digunakan untuk pekerjaan sementara, karena umurnya terbatas, mudah lapuk. Bila tiang ini dipancang di daerah muka air tanah tinggi atau tiang selalu terendam air, maka tiang akan berfungsi sebagai tiang permanen. Tiang kayu akan cepat rusak, bila terletak di bagian peralihan atau kondisi selalu berubah-ubah (terendam dan kering). Kuat dukung tiang kayu umumnya tidak terlalu besar. Sesuai dengan klasifikasi jenis kayu yang digunakan dan berkisar 0,15-0,25 kN.
b. Tiang Baja
Umumnya digunakan dengan bentuk tampang tiang merupakan profil H, WF, atau pipa dapat berlubang maupun tertutup ujung-ujungnya. Jenis tiang ini mempunyai banyak keuntungan, antara lain (Suryolelono, 1994) :
1) lebih mudah dipancang, disebabkan tiang mempunyai luas tampang yang kecil disbanding jenis tiang lain, karena tiang lebih mudah masuk ke dalam tanah akibat berat sendiri.
2) mudah disambung, bilamana diperlukan panjang tiang yang cukup besar untuk mencapai kedalaman tiang yang diinginkan,
3) untuk menembus jenis-jenis tanah keras ujung tiang diperkuat dengan memberi sepatu agar tidak mudah rusak.
Masalah utama yang dihadapi untuk jenis tiang baja adalah korosi. Masalah ini dijumpai di daerah-daerah yang bersifat asam (daerah rawa-rawa atau tanah organik), basa (daerah tepi pantai atau terjadi instrusi air asin pada air tanah setempat).
c. Tiang Beton
Jenis tiang ini mulai dikembangkan setelah teknologi beton bertulang atau bahan mengalami perkembangan pesat, mulai jenis tiang dengan konstruksi beton bertulang yang dibuat secara konvensional sampai dengan kostruksi beton bertulang pre stress / post tension. Dalam pelaksanaan konstruksi beton bertulang pre stress, penarikan kabel strand dilakukan terlebih dahulu untuk memberikan tegangan awal, setelah itu baru dilakukan pengecoran. Pada konstruksi beton bertulang
post tension, dilakukan pengecoran terlebih daulu, setelah itu baru dilakukan penarikan kabel strand.
Dua metode dalam pembuatan tiang beton yaitu precast pile (tiang dibuat ditempat lain) dan cast in situ / cast in place (tiang dibuat di tempat) (Suryolelono,1994).
1) Precast pile
Jenis tiang beton tipe ini dibuat di tempat lain atau dibuat di pabrik
(prefabricated pile), hanya saja panjang tiang terbatas, karena disesuaikan dengan alat transport yang ada seperti trailer. Untuk kedalaman yang cukup besar, maka diperlukan penyambungan.
2) Cast in situ / cast in place
Pada prinsipnya dalam pelaksanaan tiang cast in situ adalah dibuat lubang dalam tanah setelah selesai, baru dilakukan pengecoran. Ada beberapa jenis tiang yang dibuat dengan metode ini, antara lain sebagai berikut dibawah ini.
a. Tiang beton tanpa kulit baja,
1. Jenis tanah dasar fondasi tidak mudah runtuh
Mulu-mula dibuat lubang ke dalam tanah, dan tanah dikeluarkan dari dalam lubang tersebut. Setelah itu tulangan dimasukkan dan selanjutnya dilakukan pen-cor-an. Jenis tiang ini dikenal dengan tiang Strausz.
2. Jenis tanah dasar fondasi mudah runtuh
Pada metode ini digunakan pipa baja ynag terbuka ujungnya dan dipancang ke dalam tanah. Tanah dalam pipa dikeluarkan dan selanjutnya tulangan dimasukkan, baru di cor dengan beton. Bersamaan dengan pelaksanaan pen-cor-an beton, pipa baja dicabut. Jenis tiang ini biasa dikenal dengan tiang Franki.
b. Tiang beton dengan kulit baja
Jenis tiang ini tidak bergantung pada jenis tanah dasar fondasi. Berbagai metode pelaksanaan jenis tiang ini antara lain :
• pipa baja dengan ujung terbuka dipancang ke dalam tanah. Tanah dari dalam pipa dikeluarkan dengan alat bor, dikeruk atau semprotan air dan udara, baru setelah itu dilakukan pencor-an. Pipa baja yang digunakan dapat berupa pipa dengan bentuk silinder sederhana atau terdiri dari beberapa silinder yang konsentris,
• pipa baja dengan ujung tertutup dipancang ke dalam tanah. Bentuk tutup dapat berupa kerucut yang menjadi satu dengan pipa baja atau blok beton yang bekerja sebagai tutup pipa baja di bagian ujungnya. Setelah mencapai kedalaman yang diinginkan baru dilakukan pen-cor-an.
c. Tiang ulir
Jenis tiang ini sebenarnya sebagai tiang baja, hanya saja di bagian ujung diberi ulir untuk memudahkan di dalam pelaksanaan pemancangan.

21 Agustus, 2009

MERANCANG PONDASI

MERANCANG PONDASI

Pondasi adalah bagian bangunan yang tidak terlihat namun keberadaannya sangat penting sebagai penopang utama bangunan. Setelah mengetahui berbagai pondasi, untuk dapat tepat menggunakannya diperlukan tinjauan berbagai disiplin ilmu terkait seperti struktur dan kekuatan tanah (geoteknik). Pada perencanaan bangunan bertingkat rendah, perencana dapat memperkirakan atau mengajukan jenis pondasi dan kaitannya terhadap aspek lain. Pembahasan pondasi ini lebih ditekankan pada pemilihan jenis pondasi secara umum pada struktur tertentu berdasarkan latar belakang bangunan dan bagaimana menyajikannya ke dalam gambar rencana bangunan.

1.1 Menentukan Jenis Pondasi
Untuk dapat menentukan jenis pondasi yang tepat bagi sebuah bangunan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu berat sendiri struktur dan konstruksi bangunan, ketinggian bangunan, beban fungsi dari aktifitas yang diwadahi di dalam bangunan serta keadaan tanah di mana bangunan didirikan. Faktor-faktor tersebut dapat digunakan untuk memprakirakan jenis pondasi yang akan dipakai pada bangunan.

1.1.1 Menggunakan Pondasi Dangkal
Pondasi dangkal adalah pondasi yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari ketinggian satu lantai atau berkisar dari nol centimeter hingga 2 / 3 meter. Pondasi dangkal dapat digunakan pada bangunan yang mempunyai kondisi tanah bagus (dengan daya dukung yang tinggi atau lapisan tanah keras yang dangkal), dan dengan beban atau ketinggian bangunan yang tidak terlalu besar.
Pada sebagian besar bangunan bertingkat rendah hingga berlantai empat, pada kondisi tanah yang bagus masih dapat menggunakan beberapa jenis pondasi dangkal tanpa harus dengan pondasi dalam. Namun sebaliknya sekalipun bangunan tidak bertingkat, pada kondisi tanah lembek, harus menggunakan pondasi dalam. Pondasi dangkal ini dapat berupa pondasi titik, pondasi menerus atau pondasi bidang. Wujud pondasi yang sering dipakai adalah pondai umpak, pondasi foot-plate, pondasi menerus batu kali, atau pondasi bidang pelat beton bertulang.

Penentuan desain pondasi tergantung pada:
 Kondisi tanah
 Berat bangunan
 Tinggi bangunan
 Bahan bangunan

Pondasi bidang beton bertulang ini hanya dipakai pada kondisi tanah yang jelek dengan beban bangunan yang besar. Pondasi dangkal yang paling dangkal dan paling sederhana adalah umpak yang sering dipakai pada pondasi tiang-tiang atau kolom-kolom bangunan yang tidak permanen atau bangunan yang menggunakan bahan struktur ringan seperti kayu atau metal. Umpak ini mempunyai bentuk umumnya pondasi ideal yang melebar ke bawah dengan maksud memperlebar tumpuan dengan bidang tanah. Demikian juga pada foot-plate, pondasi menerus batu kali dan sebagainya, sehingga pada rencana pondasi, bentukan ini juga harus dapat dilihat baik pada rencana ataupun detailnya.
Aplikasi rencana pondasi dangkal ini pada gambar kerja arsitektur adalah pengaturan layout jenis pondasi pada titik-titik kolom atau garis-garis dinding. Ukuran dan detail pondasi harus didapatkan secara eksak melalui perhitungan struktur yang biasanya dilakukan oleh ahli struktur atau konstruktor sebagai bagian dari atau diminta oleh perencana.
Pondasi dangkal menerus disamping berfungsi menopang dinding berat atau dinding pemikul juga berfungsi menahan tanah atau urug tanah untuk membedakan ketinggian
lantai. Dengan demikian walaupun pada lantai satu tidak terdapat dinding berat namun masih menggunakan pondasi menerus yang berfungsi sebagai pembatas tanah atau turap untuk membedakan ketinggian lantai.

1.1.2 Menggunakan Pondasi Dalam
Pondasi dalam adalah pondasi yang mencapai kedalaman tertentu yang disebabkan oleh beban atau ketinggian bangunan yang cukup besar atau pada kondisi tanah yang kurang bagus. Sebuah bangunan tinggi yang mempunyai ketinggian dan jumlah lantai tertentu harus diimbangi dengan kedalaman pondasi yang memadai agar bangunan tidak runtuh. Pada bangunan berat atau dengan fungsi berat seperti gudang atau bengkel juga menggunakan pondasi dalam untuk meyakinkan bangunan berada pda lapisan tanah keras yang stabil pada kedalaman tertentu.
Aplikasi rencana pondasi dalam ini biasanya dipasang pada kolom-kolom utama dan dapat diperlebar pada pelat-pelat pondasi untuk memperkuat daya dukung terhadap bangunan karena kondisi tanah yang jelek atau beban bangunan yang terlalu besar. Pada gambar rencana pondasi atau potongan bangunan, kedalaman bangunan tidak ditentukan dengan pasti, karena kedalaman pondasi dalam ini menyesuaikan kondisi
tempat pondasi sehingga tidak dapat diseragamkan.

Beban yang dipikul jenis pondasi:
 Pondasi titik _ beban struktur melalui kolom
 Pondasi menerus _ beban struktur melalui dinding atau untuk menopang dinding berat
 Pondasi gabungan _ pada penggunaan kolom dan dinding bersama

1.2 Menentukan Titik dan Garis Pondasi
Untuk dapat meletakkan titik-titik dan garis pondasi harus diperhatikan penggunaan jenis pondasi pada elemen struktur yang tepat. Kapan menggunakan pondasi titik dan menerus harus dilihat dari jenis struktur yang dipikulnya.

1.2.1 Menggunakan Pondasi Titik
Pondasi titik identik dengan pondasi setempat yang digunakan untuk menopang beban yang bersifat setempat. Beban setempat ini berasal dari kolom bangunan yang meneruskan bebanbeban bangunan ke bawah secara linear menuju ke satu tempat atau satu titik di dalam tanah. Dengan demikian setiap kolom, hanya perlu menggunakan jenis pondasi titik ini baik pondasi dangkal ataupun pondasi dalam.Wujud pondasi titik ini dapat berupa umpak, foot-plate atau tiang pancang pada pondasi dalam, yang kesemuanya berhubungan langsung dengan kolom utama. Posisi tumpuan dapat diperlebar dengan pelat kaki atau disebut dengan foot plate, jika digunakan pondasi dalam dalam jumlah yang banyak dalam satu kolom.

1.2.2 Menggunakan Pondasi Menerus
Pondasi menerus adalah pondasi yang paling sesuai memikul beban menerus pula. Beban menerus ini pada bngunan identik dengan beban yang disalurkan ke dalam tanah oleh dinding yang berfungsi struktural atau dinding pemikul (bearing wall) dan dinding geser (shear wall). Dinding non struktural yang mempunyai berat konstruksi yang tinggi seperti dinding batu bata pada lantai dasar juga memerlukan pondasi agar dinding tidak melesak ke dalam tanah.
Wujud pondasi menerus ini pada bangunan adalah pondasi batu kali atau batu bata dan juga pondasi beton bertulang dari bentuk foot-plate yang dipanjangkan.

1.2.3 Menggunakan Pondasi Gabungan
Pada sebuah bangunan, penggunaan jenis-jenis pondasi secara bersamaan lebih sering dilakukan untuk mendapatkan tumpuan bangunan yang optimal pada tanah. Karena struktur bangunan seringkali terdiri dari kolom dan dinding secara bersamaan baik dinding struktural atau dinding berat seperti dinding batu bata, maka penggunaan pondasi titik untuk kolom dan pondasi menerus untuk dinding dapat digunakan secara
bersama. Aplikasi pemakaian pondasi gabungan pada gambar kerja ini harus jelas diperlihatkan pada rencana pondasi dan potongan bangunan dengan notasi dan ukuran yang jelas.

1.3 Menentukan Jenis Pondasi Khusus
Pada kondisi khusus seperti pada bangunan yang mempunyai beban sangat besar, pada kondisi tanah yang sangat jelek diperlukan pondasi yang khusus pula. Demikian
juga pada kondisi untuk fungsi khusus seperti ruang-ruang mesin, maka diperlukan jenis pondasi tertentu yang mampu meredam getaran mesin, sehingga menghilangkan atau mengurangi pengaruhnya pada struktur bangunan. Pondasi khusus juga terkadang digunakan sebagai bagian dalam satu bangunan justeru untuk mengurangi konstruksi yang tidak perlu. Konstruksi pondasi di tanah keras yang hanya menopang dinding bata atau dinding partisi ringan tidaka harus menggunakan pondasi batu kali yang besar.
Penggunaan rolaag atau sloof saja dengan ukuran tertentu dapat dipakai untuk menghindari pemakaian bahan pondasi yang terlalu besar.
Pada kondisi tertentu penggunaan sloof yang dimaksudkan untuk membantu pondasi atau bahkan menggantikan peran pondasi juga dapat dilakukan. Keputusankeputusan
ini memang harus dikonsultasikan dengan ahli pondasi atau ahli tanah agar didapatkan keputusan desain yang tepat.

1.4 Menentukan Konstruksi Pondasi
Konstruksi pondasi tergantung dari jenis, ukuran dan kondisi tanah dan lingkungan setempat di mana bangunan didirikan. Pada daerah di mana batu kali dan pasir mudah
didapatkan, penggunaan pondasi baik titik atau menurus dan dangkal atau dalam sering menggunakan beton atau beton bertulang. Sementara daerah yang banyak terdapat kayu semua jenis pondasi dapat menggunakan balok-balok kayu sebagai konstruksi pondasi.
Bagian penting yang juga harus diperhatikan pada desain pondasi adalah pada konstruksi penghubung antara pondasi dan elemen struktur dan tanah di sekitarnya.

Penggunaan Pondasi Khusus:
_ Pada bangunan dengan beban ekstra
_ Pada bangunan dengan kondisi tanah yang sangat jelek
_ Pada bagian bangunan dengan beban yang lebih ringan
_ Pada bagian bangunan dengan fungsi beban ekstra

Fungsi dimensi pada bagian pondasi:
_ Lebar pondasi _ menopang berat total bangunan
_ Kedalaman pondasi _ mencapai tanah keras
_ Proporsi kedalaman pondasi _ mendirikan bangunan
_ Bahan pondasi _ sesuai ketersediaan di lingkungan

KONSTRUKSI TEROWONGAN

SHARING KNOWLEDGE PT. WASKITA KARYA (Persero)

KONSTRUKSI TEROWONGAN

I. DASAR TEORI
A. Pendahuluan
Tujuan umum dibuatnya sebuah terowongan adalah untuk menjamin transportasi langsung dari barang atau penumpang atau material lainnya menembus rintangan alam dan aktifitas manusia. Terowongan dibuat menembus gunung, di bawah sungai, laut, pemukiman, gedung- gedung atau jalan raya. Berguna untuk sarana tranportasi, hidro power, jaringan listrik, gas, saluran pembuangan dan lain-lain.
B. Klasifikasi Terowongan berdasarkan Fungsinya
1) Terowongan Lalu Lintas (Traffic)
Beberapa penggunaan terowongan untuk lalu-lintas diantaranya :
• Terowongan Kereta api
• Terowongan jalan raya
• Terowongan navigasi
• Terowongan tambang
2) Terowongan Angkutan
• Terowongan pembangkit Tenaga Listrik (Hidro Power)
• Terowongan Water Supply
• Terowongan Sewerage water
• Terowongan untuk utilitas umum
Terowongan yang dimaksud di sini adalah sebuah struktur bawah tanah sehingga dalam pelaksanaannya harus dilaksanakan tanpa boleh mengganggu aktifitas/ kondisi di permukaan tanah atau dapat pula dilakukan secara gali dan timbun (cut and cover).

C. Klasifikasi Terowongan berdasar Cara Pelaksanaannya
1) Micro Tunnel
Penggunaannya mayoritas untuk penempatan jalur pipa, kabel, dan jaringan air. Ukuran dari terowongan ini berkisar antara 60 cm s/d 100 cm dan dikerjakan secara modern dengan cara otomatis dengan peralatan robot.
2) Terowongan Dongkrak (Jacking)
Teknik pelaksanaan ini dipilih sebagai alternative karena pengggalian biasa terlalu mahal karena panjang yang terbatas, misalnya pembuatan underpass dan sejenisnya. Secara umum pelaksanaannya dilakukan dengan mendongkrak secara horizontal sebuah segmen beton precast atau baja memotong tanah dan membuang keluar secara manual bagian volume tanah yang terpotong segmen yang didongkrak tersebut.

3) Terowongan Batuan (Rock)
Terowongan ini dibuat menembus batuan masif yang relative keras dan dapat dilakukan langsung dengan metode penggalian menggunakan peralatan manual, mekanis maupun blasting. Masalah yang mungkin dihadapai adalah yang berkaitan dengan air tanah, dan struktur penopang pada zona patahan.
4) Terowongan melalui tanah lunak (soft ground)
Termasuk dalam kategoro ini adalah terowongan yang di buat melalui tanah lempung, pasir dan batuan lunak (soft rock). Karena mudah runtuh maka untuk pelaksanaan penggalian digunakan pelindung (shield). Sedangkan lining tunnel harus segera dipasang bersamaan dengan kemajuan gerakan Tunnel Boring Machine (TBM).
5) Terowongan Gali dan Timbun (Cut and Cover)
Terowongan ini dilaksanakan dengan menggali sebuah alur yang cukup sampai kedalaman yang diinginkan, kemudian pengecoran lining tunnel atau pemesangan lining precast dan melakukan penimbunan kembali (covering). Metode ini cocok dilaksanakan jika tersedia areal yang cukup, tidak mengganggu aktifitas dipermukaan dan letak jalur terowongan cukup dekat dengan permukaan.
6) Terowongan Bawah air (Underwater)
Terowongan ini biasanya melewati jalur batuan atau tanah lunak. Hal yang membedakan dengan terowongan tanah lunak adalah adanya tekanan air yang sangat tingggi, sehingga diperlukan metode untuk membuat terowongan menjadi kedap air. Salah satu metodenya yaitu dengan membuat trench di dasar sungai atau laut lalu menempatkan precast tube lining dan menerapkan teknik sambungan kedap air.

D. Terowongan Sipil dan Terowongan Tambang
Perbedaan mendasar antara terowongan Sipil dan terowongan tambang adalah sebagai berikut :
1) Kebanyakan terowongan Sipil adalah permanen, sedangkan terowongan tambang kebanyakan bersifat sementara (temporary). Beberapa terowongan tambang ada yang dirancang untuk dapat digunakan beberapa puluh tahun.
2) Terowongan Sipil digunakan untuk melayani kepentingan umum (transportasi, dll) sedangkan terowongan tambang digunakan untuk kepentingan khusus (pekerja atau aktifitas tambang).
3) Panjang terowongan tambang biasanya cukup besar karena digunakan untuk terowongan produksi tambang sedangkan terowongan Sipil kebanyakan dibuat sependek mungkin dan dilaksanakan dengan standart yang sangat ketat.
4) Jalur di mana terowongan tambang dibuat umumnya secara geologi telah diketahui cukup rinci karena adanya survey yang mendalam bersamaan dengan penyelidikan potensi material tambangnya. Sedangkan terowongan Sipil biasanya dibangun pada lokasi yang baru sehingga memerlukan penyelidikan geoteknik yang baru dan terperinci.
5) Kegiatan penambangan merupakan proses dinamis sehingga dapat mengakibatkan perubahan kondisi (rock reinforcement).
6) Biaya penyelidikan terowongan Sipil jauh lebih besar karena tuntutan masalah keamanan.

E. Akses Terowongan dan Manajemen Material
1) Konstruksi Portal
Akses masuk ke areal bawah tanah secara umum disebut portal. Akses ini dapat berupa sebuah shaft yang dikontruksi secara vertikal sampai kedalaman tertentu sesuai elevasi rencana terowongan utama (horisontal), atau berupa face terowongan yang bisa disiapkan secara horizontal karena kondisi lahan memungkinkan.
2) Manajemen Material
Yang dimaksud dengan manajemen material yang memerlukan pengaturan disini adalah:
• Material hasil galian yang harus dibawa keluar terowongan.
• Material supporting system dan elemen lining precast atau formwork dan beton cair yang harus dibawa masuk dalam terowongan dan geraka alat keluar masuk terowongan.
• Air hasil dewatering di dalam terowongan yang harus dibuang keluar terowongan.

F. Penyelidikan Geoteknik
Penyelidikan geoteknik adalah elemen yang sangat penting dalam perencanaan dan pelaksanaan sebuah terowongan. Dengan data geologi yang memadai dapat ditentukan desain terowongan yang sesuai, metode pelaksanaan yang paling optimal, biaya pelaksanaan yang rasional serta persiapan yang sebaik- baiknya direncanakan aspek keamanan pelaksanaan. Biaya pelaksaan akan sangat berpotensi membengkak karena kurangnya tersedianya data geologi.
Secara spesifik tujuan penyelidikan tersebut adalah untuk :
1) Menentukan stratifikasi tanah atau batuan pada jalur terowongan.
2) Menentukan sifat fisik batuan.
3) Menentukan parameter desain untuk batuan dan tanah.
4) Memberikan kepastian setinggi- tingginya bagi suatu proyek dan member wawasan kepada engineer menegenai kondisi yang mungkin terjadi saat pelaksanaan.
5) Mengurangi unsure ketidak pastian bagi kontraktor.
6) Meningkatkan keselamatan kerja.
7) Member pengalaman bekerja sehingga dapat memperbaiki kualitas- kualitas keputusan di lapangan.
Pemboran teknik untuk pengambilan sampel batuan adalah cara yang paling umum dipakai untuk pekerjaan terowongan. Dengan pengambilan sampel (core) dapat diketahui sifat fisik batuan, variasi pelapisan tanah, satuan batuan, dan informasi penting lainnya. Lokasi- lokasi yang memerlukan pengeboran secara detail adalah :
1) Daerah portal.
2) Daerah yang secara topografi dekat as terowongan, karena biasanya secara struktur lemah (overburden tipis).
3) Lokasi yang berpotensi mengalami pelapukan berat.
4) Daerah yang berpotensi air tanah tinggi dan adanya batuan porous.
5) Zona geser/ patahan.

II. TEKNIK GALIAN DALAM PELAKSANAAN TEROWONGAN
Metode galian dalam banyak diterapkan untuk pembuatan shaft dan stasiun pemberhentian bawah tanah. Dalam kondisi tertentu, membuat terowongan dengan metode cut and cover akan lebih murah daripada penggalian bawah tanah dengan mesin, kecuali jika dasar galian tempat jalur terowongan sangat dalam.
Metode dengan prinsip galian dalam yang dapat diterapkan adalah:
1) Galian Bebas
Metode ini adalah yang paling ekonomis, yaitu dengan cara membuat galian bebas tanpa perlu proteksi melainkan hanya dengan mendesain galian dengan slope galian yang aman.
2) Galian dengan Turap dan Penopang
System ini dilakukan dengan cara menggali secra bertahap dan memasang turap dan skur pada setiap tahap galian. Teknik ini umumnya diterapkan pada tanah kohesif dengan muka air tanah dibawah dasar galian. Cara ini terbatas untuk galian yang tidak terlalu lebar.
3) Dinding Berlin
Konstruksi dinding berlin dikerjakan dengan cara memancang batang baja profil H atau I dengan jarak tertentu dan memasang panel- panel kayu atau beton di antaranya. Jika galian cukup dalam, maka perkuatan dapat ditingkatkan dengan pemasangan angkur dan skur penopang.
4) Dinding Diafragma
Metode ini diaplikasikan dengan menggali menggunakan alat khusus dan galian dapat diisi dengan bentonite sehingga membentuk diafragma kedap air.
5) Dinding Pracetak
Metode ini merupakan kelanjutan dari metode diafragma. Dimana lubang galian yang sudah diisi bentonite kemudian dimasuki panel- panel pracetak.
6) Secant Pile
Secant pile adalah pembuatan tiang bor yang dikonstruksi secara rapat sehingga membentuk seperti dinding kedap air. Kecuali cara pengeboran dan cast insitu, metode dengan pemancangan langsung tiang beto pracetak juga sangat dimungkinkan.
7) Soil Nailing
Soil nailing adalah metode memperkuat struktur tanah dengan memasukan tulangan baja kedalam lubang bor yang disediakan dan kemudian dilakukan grouting pada lubang tersebut. Pelaksanaannya sangat efektif jika ditunjang dengan penggunaan shotcrete.
8) Angkur dan Skur
Jika ruang yang tersedia sangat terbatas maka perkuatan dapat menggunakan system angkur dan skur, cara ini dipandang sangat sederhana dan praktis.

III. TEROWONGAN PADA TANAH LUNAK
A. Metode Pelaksanaan Terowongan pada Tanah Lunak
Pengertian tanah lunak adalah material yang dapat digali secara manual. Material ini pada umumnya tidak dapat menahan berat sendiri dalam jangka waktu yang panjang. Dalam teknologi terowongan, tanah dimasukan dalam kategori soft ground.
Tanah yang kokoh dapat memberikan kondisi yang menguntungkan karena atap terowongan dapat dibiarkan tanpa disokong untuk beberapa waktu. Sebaliknya kondisi tanah yang lembek tidak mengunntungkan karena mudah runtuh atau bergerak menutup lubang galian.
Tingkat kesulitan dan biaya pelaksanaan terowongan pada tanah amat ditentukan oleh stand-up time dan posisi muka air tanah. Di atas muka air tanah, stand-up time ditentukan oleh kuat geser dan kuat tarik material, sedang dibawah muka air tanah, stand-up time ditentukan oleh nilai permeabilitasnya. Terzahi membedakan tanah dengan : Firm Ground, Ravelling Ground, Running Ground, Flowing Ground, Squezzing Ground, Swelling Ground.
Pada kondisi tanah yang buruk, dapat terjadi squeezing atau penciutan lubang galian, raveling yaitu tanah atau batuan yang rontok secara bertahap, running yaitu keruntuhan massa tanah atau batuan, dan flowing atau tanah mengalir (karena muka air tanah tingggi dan air cenderung membawa material tanah mengalir ke lubang galian terowongan). Secara garis besar ada dua metode yang applicable untuk tanah lunak yaitu metode gali timbun (cut and cover) dan metode shield tunneling.

B. Tunnel Boring Machine (TBM)
Sebuah Tunnel Boring Machine (TBM) adalah suatu system yang tidak dapat berdiri sendiri- sendiri. TBM yang lengkap bisa mencapai panjang 300 meter yang terdiri dari alat pemotong, alat penggali, system kemudi, gripping, pengebor, pengontrol, dan penyokong tanah, pemasang lining, alat pemindah material, system ventilasi serta sumber tenaga. Sedangkan pekerjaan rel, pembangkit tenaga dan saluran ventilasi dikerjakan pada bagian belakang TBM merupakan pekerjaan pendukung.
C. Konstruksi Lining
Beban yang dipikul oleh system penahan (supporting system) tergantung pada kondisi tanah saat pemasangannya. Jika tanah telah mencapai keseimbangan, maka lining tidak menahan beban yang berarti dan kondisi sebaliknya akan terjadi jika saat pemasangan kondisi tanah masih belum seimbang (labil).
Lining terowongan dapat sebagai suatu system pendukung yang bersifat temporer atau permanen. Kita dapat menentukan hal ini dengan melakukan perhitungan- perhitungan atau evaluasi terhadap apa yang dimungkinkan bisa terjadi selama waktu pelaksanaan dan selanjutnya melakukan penyelidikan untuk menentukan bagaimana hal tersebut bisa terjadi.
Persyarakan pokok untuk lining yang bersifat permanen adalah kekuatan, stabilitas, ketahanan, pengendalian rembesan dan deformasi sepanjang umur terowongan. Dua kriteria yang menentukan keberhasilan pelaksanaan terowongan pada tanah adalah kemampuan lining untuk menahan beban dan deformasi dan penurunan tanah permukaan akibat pengggalian.

D. Masalah pada Pelaksanaan Terowongan pada Tanah Lunak
Penurunan tanah dipermukaan adalah akibat deformasi yang disekitar galian dan tergantung cara pelaksanaan, kecepatan penggalian dan tegangan awal pada tanah (Peck, 1969).
Secara umum ada lima tahapan deformasi dalam penggunaan metode shield tunneling yaitu :
1. Penurunan awal
Yaitu penurunan yang terjadi akibat penurunan muka air tanah akibat proses dewatering selama pelaksanaan, biasa terjadi pada tanah pasir.
2. Deformasi tanah pada bagian muka galian.
Deformasi ini akan terjadi seketika karena ketidak seimbangan tegangan antara penyokong terowongan dengan tanah atau air tanah pada bagian muka terowongan.
3. Penurunan di atas posisi shield bekerja
Penurunan terjadi jika rongga galian besar dan akibat problem control alignment shield.
4. Penurunan setelah konstruksi rongga terbentuk, yaitu karena adanya ronggga antara dimensi galian tanah dan posisi lining (tail void).
5. Penurunan jangka panjang yang terjadi akibat peningkatan air pori sehubungan gerakan shield mendorong tanah.
Beberapa potensi masalah pada konstruksi terowongan diantaranya:
• Penurunan dipermukaan tanah akibat adanya galian terowongan.
• Masalah dewatering.
• Keruntuhan di muka terowongan waktu penggalian.
• Pergerakan dari struktur di bawah tanah.
• Bocoran pada lining.
Beberapa metode perbaikan tanah yang serig digunakan dalam pekerjaan terowongan antara lain : pengendalian air tanah dengan dewatering, penggunaan udara bertekanan (compressed air), dan grouting.

IV. TEROWONGAN PADA BATUAN
A. Pendahuluan
Geologi adalah factor terpenting dalam menentukan jenis, bentuk dan biaya terowongan, pelaksanaan terowongan akan menemui tingkat ketidak pastian yang tinggi jika data kondisi batuan atau tanah disekitar terowongan tidak lengkap.

Sebelum pelaksanaan terowongan, pada umumnya akan dilakukan penyelidikan geologi teknik menggunakan metode pemboran, insitu testing, adits maupun pilot tunnel. Adits untuk ekplorasi umumnya tidak dilakukan kecuali suatu bagian terowongan dianggap berbahaya. Pada pemboran inti, core sampel harus selalu disimpan untuk membantu jika ditemui masalah geoteknik saat pelaksanaan.
Pilot tunnel adalah cara terbaik untuk menyelidiki lokasi terowongan dan harus digunakan bila terowongan berukuran besar akan dilaksanakan pada jalur yang mempunyai kondisi geologi yang kritis. Degan membuat pilot tunnel maka berbagai masalah yang akan ditemui pada pelaksanaan penggalian pada skala yang lebih besar dapat diantisipasi sedini mungkin.
Syarat utama untuk konstruksi suatu terowongan adalah :
1) Dapat dilaksanakan dengan aman.
2) Pelaksanaan tidak mengakibatkan kerusakan yang tidak dikehendaki pada bangunan penting lainnya.
3) Konstruksi terowongan harus minim pemeliharaan.
4) Dalam jangka panjang harus dapat menahan segala gaya yang bekerja , terutama tekanan tanah dan aair tanah.

B. Kondisi Batuan
1) Terowongan pada Massa Batuan
Batuan kompeten adalah batuan intact yang keras sehingga tidak memerlukan supporting namun kekerasannya harus menjadi pertimbangan dalam pelaksanaannya. Sedangkan batuan tidak kompeten memiliki sifat diskontinu berupa adanya joint, fault, zona fracture, sesar/ kekar, bidang foliasi, dll. Batuan ini dapat bervariasi, mulai batuan lunak hingga keras tergantung jenis mineral dan derajat pelapukannya.
2) Klasifikasi Massa Batuan
Berbeda dengan tanah dimana sifat- sifat lapisan tanah dapat dicerminkan oleh sampel tanah yang diuji di laboratorium. Pada batuan sifat batuan intact yang diperoleh dari pemeriksaan laboratorium ini tidak bisa mencerminkan sifat masa batuan yang ada karena keberadaan joint. Maka umumnya kemudian digunakan klasifikasi geomekanikatau Rock Mass Rating yang menggunakan enam parameter yang diperoleh dari pengukuran dilapangan dan laboratorium meliputi:
• Kekuatan tekanan uniaksial dari batuan utuh (uniaxial compressive streght of intact rock material).
• Rock Quality Designation (RQD).
• Jarak Diskontinuitas.
• Kondisi Diskontinuitas.
• Keadaan air tanah.
• Arah dari Diskontinuitas.

C. Masalah pada Pelaksanaan Terowongan pada Batuan
Jalur Terowongan yang melewatri Zona Patahan atau sesar aktif dapat membahayakan apabila elevasi terowongan dibawah muka air. Arah sesar terhadap sumbu terowongan harus dipertimbangkan dengan seksama.
Untuk menentukan efek joint pada konstruksi terowongan, Bieniawski (1974) mengelompokan massa batuan menjadi lima kelompok untuk mengetahui metode yang cocok digunakan untuk pelaksanaan. Material batuan dengan banyak joint dapat digali dengan menggunakan ripper.
Bidang permukaan joint yang lebar sering dijumpai dalam pelaksanaan terowongan. Jika arahnya sejajar atau hampir sejajar dengan as terowongan maka dapat menimbulkan masalah besar dalam pelaksanaannya.
Jangka waktu dimana masa batuan masih dalam kondisi stabil tanpa perlu sokongan disebut dengan Stand-Up Time atau bridging capacity. Stand-up time ini tergantung dari lebar bukaan, kekuatan batuan dan pola diskotinuitas. Bila Stand-up time rendah berarti segera setelah dilakukan pembukaan/ penggalian harus segera dilakukan proteksi atau supporting terhadap massa batuan yang ada.
Penciutan pada lubang terowongan yang digali dapat terjadi sebagai akibat perubahan kondisi tegangan, munculnya tegangan geser sesar dan adanya lapisan lempung ekspansif.
Masalah serius yang terjadi pada saat penggalian terowongan adalah adanya aliran air yang bersifat tiba- tiba dalam jumlah besar. Kondisi air tanah adalah factor penyebab utamanya. Untuk terowongan yang berada dibawah sungai atau laut, maka bocoran harus sama sekali dihindarkan, karena jumlah air yang dapat memasuki lubang terowongan akan sulit terkontrol. Pada terowongan sipil yang biasanya dangkal maka temperature tidak terlalu berpengaruh pada pelaksanaannya namun demikian biasanya hal tersebut dapat diantisipasi sepenuhnya dengan membuat sebuah ventilating system yang baik, hal ini juga sangat berguna untuk mengantisipasi adanya gas- gas berbahaya yang timbul dari massa batuan yang ada.
Getaran gempa adalah factor penting yang harus diperhitungkan dalam perencanaan lining dan supporting system. Pengaruh gempa biasanya relative lebih kecil dibandingkan pada struktur yang terdapat diatas permukaan tanah.

D. Metode Pelaksanaan Terowongan pada Batuan
Metode galian secara manual dilakukan bila kondisi batuan relative lunak, proteksi dilakukan secara konvensional dengan memasang penyokong disekeliling terowongan.
Metode galian dengan peledakan diawali dengan pemboran untuk penempatan bahan peledak. Peledakan dapat dilakuakn secara full face atau secara bertahap sesuai kondisi batuan dan peralatan yang tersedia. Metode blasting ini disamping cepat namun berdampak negatif karena dapat merusak struktur batuan disekelilingnya, sehingga perlu dilakukan sokongan yang lebih baik. Jenis- jenis supporting system yang bisa digunakan adalah dengan pemasangan steel rib, rock bolt, shotcrete dan wire mesh. Penyokong ini harus terpasang sebelum lining yang permanen dilaksanakan.
Metode terkini dalam penggalian terowongan pada kondisi batuan adalah dengan menggunakan Tunnel Boring Machine (TBM), namun sistim ini menjadi terlalu mahal untuk sebuah terowongan yang pendek.
V. TEKNOLOGI TUNNEL BORING MACHINE (TBM)
Pemilihan metode tunneling dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya termasuk:
1. Kondisi Tanah, ini merupakan factor utama yang tidak hanya mempengaruhi metode yang dipilih tetapi juga menjadi pembatas utama bagi metode-metode tertentu.
(a) Tanah Lunak: clay, gravel, sand, weathered rock
(b) Batu: batu dengan rentang kekuatan dari yang relative lunak seperti batuan sediment dengan UCS (unconfined compression strength) 10-40 MPa sampai dengan batuan igneous kuat dengan UCS 150-300 MPa.
(c) Mixed face: tunneling pada lapisan bedrock sering menghadapi bagian atas tunnel face berupa tanah atau heavily weathered rock sementara bagian bawah berupa batu.
2. Ukuran Tunnel, microtunnel dengan diameter kurang dari 0,9 m sampai dengan full face TBM (tunnel boring machine) dengan diameter sampai atau lebih dari 12 m semuanya membutuhkan perhatian dan penyelidikan yang komprehensif terhadap kondisi tanah. Meningkatnya diameter tunnel menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap problem-probem khusus dalam tunneling.
3. Aspek Lingkungan, pengoperaisan peledakan maupun drill mungkin tidak dapat dilakukan didaerah perkotaan, perubahan muka air tanah dan perubahan pola drainase akibat aktivitas pekerjaan tunneling dapat mempengaruhi permukaan tanah.
4. Variabel Lokal, ketersediaan tenaga kerja yang menguasai tunneling, lokasi phisik lapangan, kondisi infrastruktur setempat adalah factor-faktor yang juga turut mempangaruhi pemelihan metode
Pada tulisan ini hanya akan dibahas metode tunneling yang menggunakan alat Tunnel Boring Machine (TBM) yang disesuaikan dengan kondisi tanah.
A. TBM untuk Tanah Lunak
1. Open Shield
Struktur dasar dari open shield terdiri dari tiga bagian yaitu, shield body, shield tail, dan cutting edge. Bentuk shield dibuat sama dengan dengan bentuk potongan tunnel, meskipun dimensinya agak sedikit lebih besar dari yang terakhir. Bentuk paling umum tunnel yang dibuat dengan TBM adalah sirkular, sehingga menyebabkan adanya tendensi rolling ketika maju.
Shield body. Bagian ini berupa shell baja yang diperkuat dengan rib dan bracing. Di bagian ini ditempatkan beberapa peralatan seperti hydraulic rams dan peralatan pompa hidrolik untuk mendorong shield maju ke depan. Panjang tipikal dari shield body ini sekitar 2 m, tergantung dari ukuran diameter galian.
Shield tail. Bagian ini terletak di belakang shield body, dan berfungsi sebagai penyedia ruangan untuk lining segments (precast lining) yang akan dipasang selama proses pemasangan lining berlangsung. Lebar tail umumnya sekitar satu setengah kali lebar unit lining. Biasanya antara lining dan tail terdapat celah sebesar 25 mm untuk melakukan koreksi alinemen.
Cutting edge. Shield bagian ini merupakan ujung terdepan yang membutuhkan perkuatan dengan plat baja. Seringkali bagian ini juga dilapis dengan material abrasion-resistant ketika menghadapi tanah keras.
Compressed-air sering digunakan ketika tunneling dilakukan di bawah muka air tanah di tanah pasir, disamping cara lain seperti menurunkan muka air tanah, grouting, dan freezing. Kebutuhan seperti ini menyebabkan dibuatnya alat TBM yang mampu melakukan tunneling untuk tanah non-cohesive baik di atas maupun di bawah m.a.t tanpa membutuhkan compressed air, yaitu dengan menggunakan bentonite shield.
2. Slurry Shield
Prinsip dasar dari metode operasi slurry shield adalah dengan meng-injeksikan slurry mixture bertekanan kedalam ruang yang menutupi working face. Akibatnya, tanah yang berada di depan tunnel face terpenetrasi dengan slurry dan menjadi cukup padat (efek filter cake) sehingga dapat dipotong oleh cutter head. Potongan material akan terkumpul di bagian bawah yang kemudian dipompa keluar. Bentonite akan dimasukkan kembali ke bagian face setelah dipisahkan dari partikel-partikel tanah.
3. Earth Pressure Balance (EPB) Shield
Shield bentuk ini digunakan pada tanah lunak di bawah m.a.t tanpa menggunakan slurry. Sebuah cutter head yang berputar dan dilengkapi dengan drag pick membentuk bagian depan dari shield machine tipe ini. Material yang telah digali akan terkumpul dalam ruang khusus di belakang cutter head dan membentuk sebuah plug yang memberikan daya dukung ke bagian face dan mengontrol pengaruh air tanah terhadap stabilitas tunnel face.
Debris yang terkompresi dikeluarkan menggunakan screw conveyor dan dimasukkan ke dalam system pembuangan. Dengan pengoperasian yang tidak membutuhkan slurry maupun air, maka pembuangan debris dapat dilakukan dengan mudah dan relative bersih.
B. TBM untuk Hard Rock
Prinsip dasar operasi penggalian dengan TBM adalah penggunaan cutting head yang dilengkapi dengan cutters yang sesuai di bagian tunnel face. Cutting head diputar dengan kecepatan konstan dan dorongan ke tunnel face yang dilakukan oleh system pendorong hidrolik yang dijangkarkan ke sisi-sisi tunnel dengan hydraulic rams.
C. Cutters
Bagian terpenting yang berfungsi untuk memotong tanah atau batu yang ditempatkan pada bagian cutting head adalah cutters. Berbagai tipe cutters digunakan dan dipilih sesuai dengan kondisi tanah setempat. Beberapa macam cutters beserta fungsinya, yaitu:
1. Drag cutters (picks)
Digunakan untuk tunneling di tanah lunak, tersedia dalam berbagai ukuran dan bentuk. Cara kerjanya adalah dengan memotong dalam gumpalan besar tanah sehingga memungkinkan penggalian tanah lunak dan plastis dilakukan secara efisien. Untuk penggalian batu drag cutter akan mudah aus bahkan rusak jika menghadapi batuan massif.

2. Disc cutter
Disc cutter digunakan untuk memecahkan batu dengan cara rolling dan menekan disc yang dipasang pada cutter head ke permukaan tunnel. Cutters tersebut dipasang pada heavy capacity bearing. Konfigurasi disc ini dapat berbentuk single, double, triple, atau multi disc. Prinsip kerjanya adalah dengan membentuk groove pada batuan disamping juga memberikan gaya geser untuk mematahkan puncak groove yang tersisa. Batuan dengan nilai UCS sampai dengan 175 MPa dapat dipotong dengan disc tipe ini. Batu dengan high abrasive akan menimbulkan kesulitan jika menggunakan disc tipe ini, sehingga aplikasinya terbatas pada batu dengan UCS yang lebih rendah. Pemasangan tungsten carbide disekeliling disc dapat meningkatkat aplikasinya pada batuan yang lebih keras.
3. Roller cutter
Ada dua tipe roller cutter: milled-tooth dan tungsten carbide insert. Milled-tooth menyebabkan pecahnya batuan akibat penetrasi lokal, hasilnya berupa serpihan batuan disekitar cutter dengan keruntuhan kombinasi gaya geser dan tarik. Tungsten carbide insert digunakan khusus jika karakter abrasive batuan diluar kemampuan milled-tooth cutter. Galian batu dengan tungsten carbide insert roller cutter menyebabkan disintegrasi batuan dengan cara grinding dan pulverizing. Meskipun kecepatan penetrasinya relative lambat karena diproduksinya butiran halus dalam jumlah besar, dan harga cutters yang sangat mahal, cutter jenis ini mungkin merupakan tipe yang paling mungkin berhasil jika menghadapi batuan paling kuat yang mungkin ditemui saat penggunaan tunneling machine.
G. Konfigurasi Cutting Head
Pada kondisi tanah lunak, umumnya drag cutters digunakan pada seluruh permukaan cutting head face, tetapi pada kondisi batu berbagai kombinasi tipe cutter dan layout digunakan. Konfigurasi cutting head TBM terdiri dari tiga zone yang berbeda, yaitu bagian centre, face, dan outside edge.
Centre cutters. Bagian pusat membutuhkan serangkaian cutter untuk menghasilkan galian dengan cepat dan efektif pada kondisi kecepatan pemotongan yang relative rendah. Beberapa desian cutting head menggunakan cutters yang disusun dalam bentuk tricone untuk memecah batuan. Jika hanya menggantungkan galian batuan dengan cara grinding dan pulverizing pada posisi kunci ini, maka akan menyebabkan lambatnya pergerakan maju dari tunneling.
Face cutters. Main face area umumnya digali dengan disc atau roller, tegantung kekerasan batuan. Dalam beberapa situasi seperti pada batuan yang lebih lunak juga digunakan drag cutter.
Gauge cutter. Bagian ini terletak di ujung luar dari cutting head, dan bertujuan untuk membuat bukaan sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan. Gauge cutter umumnya dari tipe disc atau roller yang ditingkatkan kekuatannya agar mampu menahan aus lebih lama.

19 Agustus, 2009

Laporan Field Trip

Longsor di Desa Ledoksari, Desa Tengklik Kecamatan Tawangmangu, dan Desa Nglegok Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik dan Lempeng Australia yang saling bertumbukan. Konsekuensi dari tumbukan itu adalah terbentuk palung samudera, lipatan, perbukitan, patahan di busur kepulauan, sebaran gunung api, dan sebaran sumber gempabumi. Berdasarkan tinjauan topografi, hal tersebut akan mengakibatkan wilayah Indonesia banyak terdiri dari pegunungan dengan kemiringan terjal hingga sedang. Jenis tanah pelapukan yang sering dijumpai di Indonesia adalah hasil letusan gunungapi. Tanah ini memiliki komposisi sebagian besar lempung dengan sedikit pasir dan bersifat subur. Tanah pelapukan yang berada di atas batuan kedap air pada perbukitan/punggungan dengan kemiringan sedang hingga terjal berpotensi mengakibatkan tanah longsor pada musim hujan dengan curah hujan berkuantitas tinggi. Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa banyak wilayah di Indonesia yang rawan terhadap bencana tanah longsor (Vulcanic Survey of Indonesia, 2005).
Bencana alam longsoran tanah yang banyak terjadi di Indonesia, merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah pada lereng – lereng alam. Gerakan massa (mass movement) tanah atau sering disebut tanah longsor (landslide) merupakan salah satu bencana alam yang sering melanda daerah perbukitan di daerah tropis basah. Gerakan tanah ataupun longsoran akan dikategorikan sebagai bencana apabila terjadi pada daerah yang dihuni oleh manusia, atau pada daerah tempat kegiatan manusia. Jadi aspek kehadiran manusia atau terpengaruhnya aktivitas manusia sangat penting dalam menetapkan apakah suatu gerakan tanah atau longsoran dianggap sebagai bencana atau tidak (Karnawati, 2005). Kerusakan yang ditimbulkan oleh gerakan massa tersebut tidak hanya kerusakan secara langsung seperti rusaknya fasilitas umum, lahan pertanian, ataupun adanya korban manusia, akan tetapi juga kerusakan secara tidak langsung yang melumpuhkan kegiatan pembangunan dan aktivitas ekonomi di daerah bencana dan sekitarnya. Bencana alam gerakan massa tersebut cenderung semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia. (Hardiyatmo,2006).
Secara Topografi Kabupaten Karanganyar terletak pada ketinggian antara 1022 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan titik koordinat pada titik 7o 40’ 0” Selatan, 111o 7’ 0” Timur, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Karanganyar, sekitar 14 km sebelah timur Kota Surakarta. Kabupaten Karanganyar memiliki sebuah kecamatan yang terletak diantara Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, dan Kota Surakarta. Jumlah penduduk di Kabupaten Karanganyar adalah sebanyak 813.000 jiwa di Tahun 2003, dengan kepadatan penduduknya 1.053 jiwa/km2 luas wilayah 772.20 Km2. Kabupaten Karanganyar terdiri dari 17 Kecamatan yang terdiri dari Colomadu, Jaten, Jatiyoso, Jumantono, Karanganyar, Gondangrejo, Jatipuro, Jenawi, Jumapolo, Karangpandan, Kebakkramat, Kerjo, Matesih, Mojogedang, Ngargoyoso, Tasikmadu dan Tawangmangu.

Kondisi geografis Kabupaten Karanganyar berada pada lereng Barat Daya gunung Lawu, dengan morfologi bergelombang lemah hingga kuat dan kemiringan lereng bervariasi mulai dari datar (<10o) hingga mencapai tegak. Dari analisis citra satelit menunjukan tingkat kerentanan gerakan tanah di Kabupaten Karang Anyar teridentifikasi sebagai zona dengan tingkat kerentanan gerakan tanah menengah hingga tinggi, wilayah yang rentan bergerak dengan kerentanan tinggi mencapai 80 % dari luas area kabupaten tersebut. Gerakan longsoran tanah yang terjadi di Desa Ngledoksari, Tenglik dan Nglegok Kecamatan Tawangmangu, disebabkan oleh kondisi lereng yang terjal kemiringan lereng mencapai 50o serta ketidakstabilan tanah pasir lempungan yang menutupi lereng yang kemudian dipicu oleh infiltrasi air hujan dan perubahan tata guna lahan. Program S2 Geoteknik Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada merupakan lembaga pendidikan yang diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap berbagai masalah bidang geoteknik termasuk tanah longsor. Untuk memperdalam dan mengetahui secara kondisi lapangan tentang terjadinya tanah longsor telah dilakukan kunjungan lapangan (fieldtrip), ke salah satu lokasi daerah rawan longsor yang terletak di Desa Ngledoksari, Desa Tenglik dan Desa Nglegok Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Diharapkan dengan adanya kunjungan lapangan tersebut akan semakin membuka cakrawala berpikir mahasiswa tentang bencana longsor dan penanganannya. B. Maksud dan Tujuan Maksud dari dilaksanakannya kegiatan field study di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar adalah untuk semakin memperdalam pengetahun mahasiswa tentang fenomena longsor seperti yang telah dipelajari dalam Mata Kuliah Longsor dan Assesment di Program S2 Geoteknik JTSL FT UGM. Adapun tujuan dengan dilaksanakanya kunjungan lapangan, mahasiswa diharapkan dapat: 1. Mengetahui dan mengidentifikasi tipe dan arah pergerakan tanah. 2. Mengetahui secara garis besar parameter – parameter yang menjadi penyebab dan pemicu terjadinya pergerakan tanah. 3. Mengetahui instrumen yang dipasang di lapangan sebagai upaya mitigasi yang dilakukan, salah satunya sistem peringatan dini berbasis masyarakat yang sederhana (low cost early warning system), alat real time yang ada dan jalur evakuasi yang direkomendasikan pada saat terjadi bencana tanah longsor. 4. Mengetahui masalah – masalah yang terjadi di lapangan terkait dengan instrumen yang dipasang di lapangan dan kesiapan masyarakat dalam menerima sistem peringatan dini tersebut. 5. Memberikan rekomendasi mitigasi bencana dan penanggulangannya. 6. Mengetahui sistim evakuasi dini. C. Manfaat Field Study Manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya studi lapangan di Desa Ngledoksari, Desa Tenglik dan Desa Nglegok Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar antara lain : 1. Memberikan pengetahuan secara langsung kondisi lokasi pergerakan tanah di Desa Kalitlaga dan cara penanggulangan bencana tanah longsor yang efisien. 2. Dengan mengetahui peralatan untuk memantau pergerakan tanah di lokasi dapat meminimalisir resiko akibat pergerakan tanah. D. Pelaksanaan dan Lokasi Field Study Lokasi Kunjungan Lapangan adalah di Desa Ngledoksari, Desa Tenglik dan Desa Nglegok Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Sedangkan kunjungan dilaksanakan pada tanggal 12 Maret 2009. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Gerakan Massa dan Longsoran Longsoran (landslide) adalah pergerakan suatu massa batuan, tanah atau bahan rombakan material penyusun lereng (yang merupakan percampuran tanah dan batuan) menuruni lereng (Cruden, 1991 dalam Karnawati 2005). Namun sebelumnya Varnes (1978) dalam Karnawati (2005) mengusulkan terminologi gerakan lereng (slope movement) yang dianggap lebih tepat untuk mendefinisikan longsoran, yaitu sebagai gerakan material penyusun lereng ke arah bawah atau keluar lereng dibawah pengaruh gravitasi bumi. Sedangkan Brunsden (1984) dalam Karnawati (2005) mengusulkan istilah gerakan massa (mass movement) yang dianggap lebih tepat dipakai dalam mendefinisikan proses gerakan massa penyusun lereng, daripada istilah longsoran (landslide) yang lebih populer dikenal masyarakat. Selby (1993) dalam Karnawati (2005) lebih lanjut menjelaskan bahwa longsoran (landslide) hanya tepat diterapkan pada proses pergerakan massa yang melalui suatu bidang gelincir (bidang luncur) yang jelas. Gerakan massa tanah / batuan (termasuk juga longsoran) sebenarnya merupakan bagian dari proses evolusi atau perubahan dinamik suatu bentang alam. Proses tersebut merupakan proses alamiah (umumnya merupakan proses eksogenik), khususnya proses transportasi atau pergerakan sebagian massa penyusun lereng (mass wasting process), yang kemudian diikuti oleh proses pengendapan (sedimentasi) material yang tertransport. Apabila material yang bergerak / longsor tersebut terendapkan pada lahan dengan gradien hidrolika masih cukup tinggi, atau membentuk endapan dengan kemiringan lereng yang masih cukup curam, maka endapan tersebut masih dapat mengalami gangguan kestabilan, sehingga endapan tersebut dapat bergerak lagi menuruni atau keluar lereng sampai akhirnya mencapai posisi yang stabil. Jelaslah bahwa secara evolusif suatu lereng yang tidak stabil karena curam ataupun tersusun oleh tumpukan tanah yang tebal, akan berevolusi menuju kondisi lebih stabil setelah mengalami proses pelapukan, erosi dan transportasi. B. Tipe dan Jenis Gerakan Tanah Gerakan massa (mass movement) merupakan gerakan massa tanah yang besar di sepanjang bidang longsor kritisnya. Gerakan massa tanah ini merupakan gerakan ke arah bawah material pembentuk lereng, yang dapat berupa tanah, batu, timbunan buatan atau campuran dari material lainnya. Menurut Cruden dan Varnes (1992), karakteristik gerakan massa pembentuk lereng dapat dibagi menjadi lima bagian antara lain ; 1. Type Jatuhan (falls) Gerakan jatuh material pembentuk lereng tanah atau batuan di udara dengan tanpa adanya interaksi antara bagian-bagian material yang longsor. Jatuhan terjadi tanpa adanya bidang longsor dan banyak terjadi pada lereng terjal atau tegak yang terdiri dari batuan yang mempunyai bidang-bidang tidak menerus (diskontinuitas). 2. Type Robohan (topples) Gerakan material roboh dan biasanya terjadi pada lereng batuan yang sangat terjal sampai tegak yang mempunyai bidang-bidang ketidakmenerusan yang relatif vertikal. Tipe gerakan ini hampir sama dengan jatuhan, hanya gerakan batuan longsor adalah mengguling hingga roboh yang berakibat batuan lepas dari permukaan lerengnya. Faktor utama yang menyebabkan robohan adalah seperti halnya kejadian jatuhan batuan, yaitu air yang mengisi retakan. 3. Type Longsoran (Slides) Gerakan material pembentuk lereng yang diakibatkan oleh terjadinya kegagalan geser di sepanjang satu atau lebih bidang longsor. Massa tanah yang bergerak bisa menyatu atau terpecah-pecah 4. Type Sebaran (Spreads) Sebaran termasuk longsoran translasional disebut juga sebaran lateral (lateral spreading), adalah kombinasi dari meluasnya massa tanah dan turunnya massa batuan terpecah-pecah ke dalam material lunak di bawahnya. Permukaan bidang longsor tidak berada dilokasi terjadinya geseran terkuat. Sebaran dapat terjadi akibat liquefaction tanah granuler atau keruntuhan tanah kohesif lunak di dalam lereng (Schuster & Fleming, 1982). 5. Type Aliran (Flows) Gerakan hancuran material ke bawah lereng dan mengalir seperti cairan kental. Aliran sering terjadi dalam bidang geser relatif sempit. Material yang terbawa oleh aliran dapat terdiri dari berbagai macam partikel tanah termasuk batu-batu besar, kayu-kayuan, ranting dan lain-lain. C. Faktor Penyebab Gerakan Massa Tanah / Batuan Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar daripada gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban serta berat jenis tanah batuan. 1. Hujan Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan 2. Tanah yang kurang padat dan tebal Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih dari 20o Tanah jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas. 3. Lereng terjal Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 180o apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar. 4. Batuan yang kurang kuat Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal. 5. Jenis tata lahan Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. 6. Getaran / gempa bumi Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempabumi, ledakan, getaran mesin, dan getaran lalulintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah menjadi retak 7. Adanya beban tambahan Adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng, dan kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor, terutama di sekitar tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah sering terjadinya penurunan tanah dan retakan yang arahnya ke arah lembah. 8. Penggundulan hutan Tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif gundul dimana pengikatan air tanah sangat kurang D. Karakteristis Daerah Rawan Longsor Dalam kawasan ini sering dijumpai alur-alur dan mata air, yang pada umumnya berada di lembah-lembah dekat sungai. Kawasan dengan kondisi seperti di atas, pada umumnya merupakan kawasan yang subur, sehingga banyak dimanfaatkan untuk kawasan budidaya, terutama pertanian dan permukiman. Kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terkait dengan tingkat kerentanan kawasan terhadap longsoran, mengakibatkan masyarakat kurang siap dalam mengantisipasi bencana, sehingga dampak yang ditimbulkan apabila terjadi bencana longsor, akan menjadi lebih besar. Pada umumnya kawasan rawan longsor merupakan kawasan : 1. Dengan tingkat curah hujan rata-rata yang tinggi, atau 2. Kawasan rawan gempa, serta dicirikan dengan kondisi kemiringan lereng lebih curam dari 20o. Disamping kawasan dengan karakteristik tersebut di atas, beberapa kawasan yang dikatagorikan sebagai kawasan rawan longsor, meliputi: 1. Lereng-lereng pada Kelokan Sungai, akibat proses erosi atau penggerusan oleh aliran sungai pada bagian kaki lereng. 2. Daerah Tekuk Lereng, yaitu peralihan antara lereng curam ke lereng landai, yang ada permukimaannya, karena berdasarkan penelitian pada kondisi hidrologi lereng, (Karnawati, 2000) menjelaskan bahwa daerah tekuk lereng cenderung menjadi zona akumulasi air yang meresap dari bagian lereng yang lebih curam. Akibatnya daerah tekuk lereng sangat sensitif mengalami peningkatan tekanan air pori, yang akhirnya melemahkan ikatan antar butir-butir partikel tanah dan memicu terjadinya longsoran. 3. Daerah yang dilalui Struktur Patahan (Sesar), yang menjadi kawasan permukiman. Daerah ini dicirikan oleh adanya lembah/sungai dengan lereng curam (> 40o) dan dan tersusun oleh batuan yang terkekarkan (retak-retak) secara intensif atau rapat, serta ditandai dengan munculnya beberapa mata air pada sungai/lembah tersebut. Retakan-retakan batuan tersebut dapat mengakibatkan lereng mudah terganggu kestabilannya, sehingga dapat terjadi jatuhan atau luncuran batuan apabila air meresap dalam retakan saat hujan, atau apabila terjadi getaran pada lereng.

E. Tingkat Kerawanan Daerah Rawan Longsor
Tingkat kerawanan ditetapkan berdasarkan kajian atau evaluasi terhadap :
 kondisi alam (dalam hal ini kemiringan lereng, lapisan tanah/batuan, struktur geologi, curah hujan, dan geohidrologi lereng),
 pemanfaatan lereng,
 kepadatan penduduk dalam suatu kawasan, serta
 kesiapan penduduk dalam mengantisipasi bencana longsor.
Pedoman ini disusun secara khusus untuk kawasan rawan bencana longsor, yaitu mencakup kawasan yang rentan mengalami gerakan tanah, tetapi masih dimanfaatkan untuk kegiatan atau kepentingan manusia, yang tingkat kewaspadaan dan kesiapan mengantisipasi terjadinya bencana longsor, masih relatif rendah.

Variasi tingkat kerawanan suatu kawasan rawan bencana longsor, dibedakan menjadi:
(1) Kawasan dengan Tingkat Kerawanan Tinggi
Merupakan kawasan dengan potensi yang tinggi untuk mengalami gerakan tanah dan cukup padat pemukimannya, atau terdapat konstruksi bangunan sangat mahal atau penting. Kawasan ini sering mengalami gerakan tanah (longsoran), terutama pada musim hujan atau saat gempa bumi terjadi.
(2) Kawasan dengan Tingkat Kerawanan Menengah
Merupakan kawasan dengan potensi yang tinggi untuk mengalami gerakan tanah, namun tidak ada permukiman serta konstruksi bangunan yang terancam relatif tidak mahal dan tidak penting.
(3) Kawasan dengan Tingkat Kerawanan Rendah
Merupakan kawasan dengan potensi yang tinggi untuk mengalami gerakan tanah, namun tidak ada resiko terjadinya korban jiwa terhadap manusia ataupun resiko terhadap bangunan. Kawasan yang kurang berpotensi untuk mengalami longsoran, namun di dalamnya terdapat permukiman atau konstruksi penting/mahal, juga dikatagorikan sebagai kawasan dengan tingkat kerawanan rendah.
Pemanfaatan ruang untuk tiap tipologi kawasan rawan bencana longsor, ditetapkan dengan mempertimbangkan karakteristik tiap tipologi dan tingkat kerawanan terhadap bencana longsor. Secara garis besar, rekomendasi pemanfaatan ruang dapat disimpulkan sebagai berikut ;
Arahan Pemanfaatan Ruang
No Tingkat Kerawanan Arahan
1. Tingkat Kerawanan Tinggi Untuk Kawasan Lindung
(tidak layak dibangun)
sehingga MUTLAK DILINDUNGI
2. Tingkat Kerawanan Menengah Dapat dibangun/dikembangkan bersyarat
3. Tingkat Kerawanan Rendah Dapat dibangun/dikembangkan dengan sederhana




F. Mitigasi Bencana Tanah Longsor
Mitigasi bencana tanah longsor berarti segala usaha untuk meminimalisasi akibat terjadinya tanah longsor. Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menekan bahaya tanah longsor dibagi menjadi tiga yaitu :

1) Tahap awal (preventif)
Langkah pertama dalam upaya meminimalkan kerugian akibat bencana tanah longsor adalah :
a. Identifikasi daerah rawan dan pemetaan. Dari evaluasi terhadap lokasi gerakan tanah yang telah terjadi selama ini ternyata lokasi - lokasi kejadian gerakan tanah merupakan daerah yang telah teridentifikasi sebagai daerah yang memiliki kerentanan menengah hingga tinggi.
b. Penyuluhan pencegahan dan penanggulangan bencana alam gerakan tanah dengan memberikan informasi mengenai bagaimana dan kenapa tanah longsor, gejala gerakan tanah dan upaya pencegahan serta penangulangannya.
c. Pemantauan daerah rawan longsor dan dilakukan secara terus menerus dengan tujuan untuk mengetahui mekanisme gerakan tanah dan faktor penyebabnya serta mengamati gejala kemungkinan akan terjadinya longsoran
d. Pengembangan dan penyempurnaan manajemen mitigasi gerakan tanah baik dalam skala nasional, regional maupun lokal secara berkelanjutan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi.
e. Perencanaan pengembangan sistem peringatan dini di daerah rawan bencana.
f. Pola pengelolaan lahan untuk budidaya tanaman pertanian, perkebunan yang sesuai dengan azas pelestarian lingkungan dan kestabilan lereng.
g. Hindari bermukim atau mendirikan bangunan di tepi lembah sungai terjal.
h. Hindari melakukan penggalian pada daerah bawah lereng terjal yang akan mengganggu kestabilan lereng sehingga mudah longsor.
i. Hindari membuat pencetakan sawah baru atau kolam pada lereng yang terjal karena air yang digunakan akan mempengaruhi sifat fisik dan keteknikan yaitu tanah menjadi lembek dan gembur sehingga kehilangan kuat gesernya yang mengakibatkan tanah mudah bergerak.
j. Menyebarluasan informasi bencana gerakan tanah melalui berbagai media, baik secara formal maupun non formal.

2). Tahap bencana
a. Menyelamatkan warga yang tertimpa musibah
b. Pembentukan pusat pengendlian (Crisis Center).
c. Evakuasi korban ke tempat yang lebih aman.
d. Pendirian dapur umum, pos-pos kesehatan dan penyediaan air bersih.
e. Pendistribusian air bersih, jalur logistik, tikar dan selimut.
f. Pencegahan berjangkitnya wabah penyakit.
g. Evaluasi, konsultasi dan penyuluhan.

3) Tahap pasca bencana
a. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan tata ruang dalam upaya mempertahankan fungsi daerah resapan air.
b. Mengupayakan semaksimal mungkin pengembalian fungsi kawasan hutan lindung
c. Mengevaluasi dan memperketat studi AMDAL pada kawasan vital yang berpotensi menyebabkan bencana
d. Mengevaluasi kebijakan Instansi/Dinas yang berpengaruh terhadap terganggunya ekosistem
e. Penyediaan lahan relokasi penduduk yang bermukim di daerah bencana, sabuk hijau dan di sepanjang bantara sungai
f. Normalisasi areal penyebab bencana, antara lain seperti normalisasi aliran sungai dan bantara sungai dengan membuat semacam polder dan sudetan
g. Rehabilitasi sarana dan prasarana pendukung kehidupan masyarakat yang terkena bencana secara permanen (seperti : perbaikan sekolah, pasar, tempat ibadah, jalan, jembatan, tanggul, dll)
h. Menyelenggarakan forum kerjasama antar daerah dalam penanggulangan bencana

G. Sistim Pemantau Gerakan Longsoran

Tipe – tipe alat yang dipilih bergantung pada masalah yang dipantau. Aplikasi alat merupakan faktor kunci dalam mempertimbangkan tipe alat yang dipilih. Ketepatan pengukuran, harga, kondisi lingkungan dan keahlian personil yang menangani merupakan faktor – faktor yang harus dipertimbangkan. Alat – alat yang dipakai untuk memantau gerakan tanah dan bangunan pada umumnya adalah ekstensometer, pengukur penurunan, inklinometer, piezometer, sel beban (load cell) dan strain gage. Pemantauan yang sering dilakukan dilapangan biasanya karena keterbatasan dana maka minimal dipakai instrumen ekstensometer dan alat ukur curah hujan, sebab air hujan merupakan pemicu yang masih berkaitan dengan geologi yaitu masalah aliran air permukaan (ground water flow) yang diakibatkan adanya air hujan. Aliran air permukaan merupakan faktor yang dominan pula dalam mengkontribusi terjadinya longsor yang ditengarai oleh kecepatan dan volume air permukaan tersebut.
1. Ekstensometer
Ekstensometer digunakan untuk mengukur atau mendeteksi gerakan antara dua titik yang melintasi gerakan, alat ini juga harus memperlihatkan arah gerakan dengan tingkat ketelitian 0,2 mm. Ekstensometer ada dua jenis yaitu alat ukur mekanis (manual) dan elektronik (automatic). Pemasangan alat ini banyak mengalami masalah jika lereng sudah mengalami gerakan.

Gambar 2.14 Pemasangan alat Ekstensometer

2. Tiltmeter
Tiltmeter digunakan untuk memantau deformasi permukaan tanah yang terjadi akibat adanya gerakan yang terjadi pada lapisan di bawah tanah yang bergeser atau akan meluncur.

Gambar 2.15 Pemasangan alat Tiltmeter

3. Piezometer
Piezometer merupakan alat pantau terhadap tekanan air pori dalam tanah. Idealnya piezometer diletakkan pada kedalaman di mana terjadi perbedaan permeabilitas. Piezometer ini, dengan demikian akan mengukur tekanan air pori.

Gambar 2.16 Pemasangan alat Piezometer

4. Alat Ukur Curah Hujan (Rain Gauge)
Alat penakar curah hujan digunakan untuk mengukur besarnya curah hujan yang terjadi di lokasi mengingat hujan sebagai faktor pemicu longsoran.

Gambar 2.17 Pemasangan alat pengukur curah hujan















BAB III
INVESTIGASI LAPANGAN DAN PEMBAHASAN

A. Identifikasi Pengamatan Lapangan

Gerakan tanah di Desa Ngelodoksari, Tenglik dan Nglegok ini terlihat merupakan longsoran tanah pasir lempungan hasil lapukan dari breksi andesit yang relatif luas. Gerakan utama yang relatif besar dan luas ini ditandai dengan terbentuknya retakan. Massa tanah di dalam blok ini juga mengalami gerakan-gerakan lokal yang ditandai dengan munculnya retakan-retakan yang lebih kecil, sehingga massa tanah yang bergerak pada blok ini merupakan massa tanah yang labil dan berpotensi untuk bergerak secara lokal ataupun bersamaan.
Longsoran yang terjadi di Kec. Tawangmangu disebabkan oleh kondisi lereng yang terjal, kemiringan lereng mencapai 50o serta ketidak stabilan tanah pasir lempungan yang menutupi lereng, yang kemudian dipicu oleh infiltrasi air hujan dan perubahan tata guna lahan. Pembukaan lahan untuk perladangan mengakibatkan tanah menjadi gembur sehingga air hujan lebih intensif terinfiltrasi pada lahan yang berada diatas lereng.
Kelongsoran yang terjadi di Desa Ngelodoksari diakibatka oleh hujan yang terus menerus sehingga kelongsoran tersebut mengakibatkan 33 orang meninggal dunia dan merusak 3 rumah penduduk. Untuk Desa Tengklik tidak menimbulkan korban jiwa tetapi merusak beberapa rumah warga disekitarnya, sedangkan pada tanggal 31 Januari 2009 di Desa Nglegok menimbulkan 2 orang meninggal dunia dan merusak beberapa rumah warga, hujan berlangsung selama 4 jam dengan kondisi deras.
Dengan makin meningkatnya curah hujan, dikhawatirkan gerakan tanah masih akan terjadi lagi di beberapa lokasi lain di wilayah Karanganyar. Penyebab kejadian longsor ini perlu dianalisis untuk mengantisipasi bahaya gerakan tanah ataupun bahaya longsoran yang masih mungkin terjadi lagi di wilayah tersebut dan sekitarnya. Dari analisa geologi ini akan rentan bergerak serta faktor-faktor geologi pengontrol kerentanan lereng, sehingga dapat dilakukan upaya pengendalian kestabilan lereng untuk menghindari bencana longsor selanjutnya. Untuk mengurangi potensi kejadian longsor susulan ataupun longsor baru disekitarnya, disarankan agar dibuat sistem drainase lereng yang tepat guna meminimalkan infiltrasi air hujan, serta menghindari pemotongan lereng secara tak terkontrol dan perlu ditetapkan pula zona sempadan lereng untuk meminimalkan potensi kejadian longsor.

Gambar 3.1 Lokasi longsor di Desa Ngelodoksari

Gambar 3.2a Lokasi longsor di Desa Tengklik

Gambar 3.2b Retakan tanah menyebabkan
longsor di Desa Tengklik

Gambar 3.3a Lokasi longsor di Desa Nglegok

Gambar 3.3b Adanya air tanah yang mengalir menyebabkan
terjadinya longsor di Desa Nglegok













Gambar 3.4 Longsoran yang terjadi di Kec. Tawangmangu

B. Struktur Geologi

Wilayah Kabupaten Karanganyar berada pada lereng barat daya gunung Lawu, dengan morfologi bergelombang lemah hingga kuat dan kemiringan lereng bervariasi dari datar < 10o hingga mencapai tegak. Kabupaten Karanganyar wilayah yang rentan bergerak dengan kerentanan menengah dan kerentanan tinggi mencapai 80 % dari luas area kabupaten tersebut.
Peta Geologi Regional Lembar Ponorogo (Sampurno & Samodra, 1997), diketahui bahwa wilayah studi tersusun oleh batuan berumur Tersier yang merupakan batuan beku intrusi (Andesit), batu gamping terumbu dan kalkarenit (formasi Wonosari), serta batuan volkanik berumur Quarter yang terdiri dari breksi gunung api bersisipan lava andesit (formasi Jobolarangan), lava andesit (formasi Sidoramping dan formasi Jobolarangan), batuan gunung api Lawu berupa tuf dan breksi gunung api bersisipan lava andesit, lava andesit (lava Condrodimuka) dan lahar Lawu yang berupa komponen andesit basal dengan sedikit batu apung bercampur dengan pasir gunung api.


Gambar 3.5a Struktur geologi Kab. Karanganyar (Tawangmangu)

Gambar 3.5b Korelasi satuan peta Kab. Karanganyar (Tawangmangu)

Struktur geologi yang teridentifikas adalah berupa patahan-patahan geser dan patahan-patahan naik. Salah satu patahan yang teridentifikasi adalah Sesar Sidoramping yang berarah relative Utara-Selatan, memotong Gunung Lawu dan Gunung Sidoramping, serta Sesar Gunung lawu yang memotong kaki dan lereng Barat Gunung Lawu dengan arah relatif Barat Daya-Timur Laut. Berdasarkan kondisi regional tersebut di atas, dapat diperkirakan bahwa batuan yang rentan bergerak adalah batuan-batuan berumur Quarter yang tersusun oleh batuan volkanik berupa breksi gunung api dan tuf, terutama yang terpotong oleh sesar dan telah mengalami pelapukan. Batuan yang rentan tersebut umumnya terdapat pada lereng dengan kemiringan mencapai lebih dari 20o hingga 60o dengan kondisi Stratigrafi yang khas yang menunjukan salah satu ciri sebagai berikut ;
1. Tersusun oleh tumpukan tanah gembur lempung atau lempung pasirn hasil pelapukan breksi andesit, lava andesit atau tauf yang mencapai ketebalan 2 m atu lebih.
2. Tersusun oleh perlapisan batuan atau tanah yang miring ke arah lereng.
3. Merupakan batuan yang retak-retak.
4. Bongkahan-bongkahan batuan dengan diameter mencapai 2 meter.
Kombinasi antara berbagai kondisi geologi diatas yaitu kondisi kemiringan lereng, batuan serta adanya struktur patahan dan kekar-kekar, mengakibatkan lereng-lereng di wilayah Gunung Lawu dan perbukitan sekitarnya menjadi rentan bergerak (longsor).


Gambar 3.6 Struktur geologi di Desa Ngelodoksari

Gambar 3.7 Struktur geologi di Desa Tengklik

D. Monitoring Dan Evaluasi

Early warning System (EWS) atau pemasangan alat sistem peringatan dini yang merupakan bagian dari mitigasi bencana alam dilakukan dengan melibatkan masyarakat sehingga akan timbul kepedulian dan tanggung jawab terhadap alat yang dipasang dengan sistem kerja alat yang dapat dioperasikan dan dipahami dengan mudah. Alat sistem ini meskipun dibuat sederhana, hal ini tidak mengurangi kemampuan alat ini untuk mendeteksi pergerakan tanah yang berpotensi longsor, alat sistem ini cukup efektif digunakan sebagai alat peringatan dini. Pemasangan alat sistem ini bertujuan untuk memberi peringatan awal terhadap ancaman bencana tanah longsor juga untuk menghasilkan prototipe sistem atau teknologi peringatan dini bahaya tanah longsor yang nantinya akan dikembangkan kelokasi-lokasi rawan longsor lainnya.
Di Kec. Tawangmangu, antara lain di Desa Ngelodoksari dan Desa Tengklik telah dipasang alat sistem peringatan dini dengan menggabungkan beberapa alat seperti extensometer dan peralatan lainnya serta alat penakar curah hujan yang dihubungkan dengan sirene. Alat tersebut meliputi tiga unit alat deteksi gerakan permukaan atau rekahan tanah (manual), dua unit alat deteksi gerakan permukaan tanah dan satu unit alat deteksi hujan.

1. Lokasi pemasangan alat sistim peringatan dini
Extensometer :
Mengukur retakan akibat gerakan tanah arah lateral. Pada saat terjadi gerakan tanah, span ikut bergerak dan kawat (wire) pada Extensometer akan tertarik kemudian tercatat pada kertas milimeter. Gerakan sepanjang 4 cm akan mengirimkan signal dan sirene akan berbunyi. Adapun kelemahan pada alat ini yaitu pergerakan yang tercatat merupakan akumulatif dari pergerakan semula, sehingga kurang efektif .
Ekstensometer dihubungkan dengan sirine/alarm sebagai upaya peringatan dini kepada warga jika terjadi pergerakan tanah secara signifikan. Gerakan tanah yang terjadi akan menarik kawat ekstensometer, menggerakkan pengukur, memicu saklar sehingga sirine berbunyi. Instalasi listrik ekstensometer dipasang pada bagian rumah Penduduk. Operator alat EWS yang melakukakan pemantauan terhadap operasi dan pemeliharaan alat dipilih dari warga setempat sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat. Besarnya lebar retakan yang terpantau extensometer sehingga memicu sirine berbunyi dapat diatur sendiri oleh warga berdasarkan potensi bahayanya. Indikator lebar retakan pada daerah padat pemukiman dengan daerah ladang/persawahan akan berbeda.
- Desa Ngelodoksari dipasang 2 buah berada di atas puncak pemukiman penduduk dengan posisi alat tersebut ;
Extensometer -1 dengan koordinat perletakan S 07o 40’ 37.1” E 111o 07’ 24.0”
Extensometer -2 dengan koordinat perletakan S 07o 40’ 36.4” E 111o 07’ 24.6”


Gambar 3.8a Extensometer





Gambar 3.8b Lokasi Extensometer Desa Ngelodoksari


Gambar 3.9 Alat EWS pemantau gerakan tanah







- Desa Tengklik direncankan akan dipasang 2 buah karena Extensometer yang lama rusak atau hilang akibat terjadinya kelongsoran ;


Gambar 3.10a Rencan posisi -1 Extensometer
Desa Tengklik


Gambar 3.10b Rencan posisi -2 Extensometer
Desa Tengklik






Penakar curah hujan (Rain Gauge) :

Alat penakar curah hujan di depan rumah penduduk. Alat pengukur curah hujan ini juga dihubungkan dengan sirine yang akan memberikan tanda bahaya apabila curah hujan yang terjadi sudah melampaui batas aman.
Baik alat penakar hujan maupun ekstensometer dilengkapi dengan alarm sebagai peringatan dini bagi masyarakat. Instalasi listrik dan elektronik ditempatkan di dalam rumah warga dan operator dipilh dari warga.



Gambar 3.11a Alat penakar curah hujan

Gambar 3.11b Interior alat penakar curah hujan

Gambar 3.12 Skema sistim peringatan dini jika terjadi kelongsoran






BAB IV
PENANGANAN DAN PENANGGULANGAN LONGSORAN

Dari hasil pengamatan di lapangan bahwa kelongsoran di Kec. Tawangmangu diperlukan usaha untuk menstabilkan lereng dengan cara mengurangi driving force, dan memperbesar resistant force pada lereng, atau kombinasi keduanya. Metode stabilitas lereng dapat dilakukan secara fisis, mekanis, khemis, dan bioengineering, atau kombinasi antara keempatnya dengan memperhatikan kondisi lereng yang labil, sehingga dapat ditentukan metode yang paling tepat.
1. Metode stabilitas lereng secara fisis merupakan metode yang paling sederhana, usaha stabilisasinya dapat dilakukan dengan cara :
a. Segera menutup retakan dengan tanah kedap air yang dipadatkan untuk meminimumkan air hujan masuk ke dalam retakan, sehingga tidak akan menimbulkan naiknya tekanan hidrostatis atau lembeknya massa tanah yang bergerak. Rekahan dapat ditutup dengan tanah lempung, aspal, semen atau bahan kimia yang disesuaikan dengan jenis tanahnya. Tanah lempung yang digunakan sebaiknya adalah jenis tanah lempung yang tidak mudah mengembang jika jenuh air dan mengkerut jika kering.
b. Melandaikan lereng (cut and fill) dengan tujuan mengurangi besarnya sudut lereng. Pada badan jalan desa dari Desa Tengklik terdapat penurunan pada badan jalan yang cukup tinggi, sehingga dapat dilakukan cut and fill pada jalan yang mengalami penurunan agar dapat melandaikan jalan tersebut.

Gambar 4.1 Stabilitas dengan Cut & Fill


Gambar 4.2 Penurunan jalan akibat kelongsoran di
Desa Tengklik
c. Mengurangi beban di bagian atas lereng dengan memindahkan bangunan di bagian puncak yang rentan terhadap terjadinya longsor.
d. Memperbaiki dan menempatkan sistem drainase (surface drainage) atau drainase bawah permukaan (sub surface drainage) untuk mengevakuasi sebagian air terutama air hujan yang berinfiltrasi ke dalam tanah, agar tanah/batuan pembentuk lereng tidak menjadi oversaturated. Dasar saluran drainasi dibuat dengan bahan yang kedap air.
2. Metode stabilitas lereng secara mekanis dapat dilakukan dengan cara :
a. Menempatkan konstruksi penahan tanah (counterweight) seperti pemasangan kawat bronjong, pembuatan berm , tembok penahan baik berupa pasangan batu, pembuatan teras batu atau kayu, pasangan batu untuk perkuatan kaki lereng. Hal ini dapat dikerjakan pada lereng di Desa Tengklik dan Desa Nglegok yang memiliki bidang longsor cukup lebar.
b. Shotcrete untuk menutup permukaan lereng dari infiltrasi air hujan, spesifik material dari beton dan agregat terpilih sesuai dengan persyaratan, namun hal ini memerlukan biaya yang cukup besar sehingga menjadi tidak effektif jika dibagian bawah lereng tidak adanya pemukiman penduduk atau fasilaitas umum.
c. Membongkar bangunan rumah milik kepala desa yang sudah rusak akibat gerakan tanah, karena bangunan tersebut menambah beban berat tanah yang memicu terjadinya kelongsoran.

Gambar 4.3 Pembongkaran rumah utk mengurangi beban
3. Stabilisasi secara khemis merupakan usaha mencampurkan bahan tanah dengan semen atau bahan kapur, abu sekam padi , fly ash, grouting untuk meningkatkan kuat geser tanah, namun pemanfaatan bahan kimia ini perlu memperhatikan pengaruhnya terhadap lingkungan.
a. Injeksi semen di bagian lereng yang runtuh yang berfungsi untuk menahan gerak laju tanah yang longsor.
b. Injeksi kapur khusus tanah tercampur lempung atau lanau yang berguna untuk memperbesar kemampuan tegangan geser tanah, namun metode ini tidak efektif untuk jenis tanah pasiran.
4. Bioengineering adalah suatu usaha stabilisasi lereng dengan menutupi permukaan lereng yang terbuka dengan tanaman agar dapat mengurangi infiltrasi aliran air ke dalam tanah. Pilihan jenis tanaman lokal sebaiknya menjadi prioritas utama, karena selain akan menekan biaya yang dibutuhkan, tanaman lokal dapat lebih bertahan hidup. Jenis pohon yang tumbuh subur di daerah Tawangmangu adalah pohon Pinus.


Gambar 4.4 Metode Bioengineering untuk stabilitas lereng

5. Pembuatan saluran drainase (saluran pengelak, saluran penangkap, saluran pembuangan).
Tujuan utama pembuatan saluran drainase adalah untuk mencegah genangan dengan mengalirkan air aliran permukaan, sehingga kekuatan air mengalir tidak merusak tanah, tanaman, dan/atau bangunan konservasi lainnya. Di areal rawan longsor, pembuatan saluran drainase ditujukan untuk mengurangi laju infiltrasi dan perkolasi, sehingga tanah tidak terlalu jenuh air, sebagai faktor utama pemicu terjadinya longsor. Untuk itu perlu merancang suatu sistem pengelolaan air dan drainase yang tepat dan sederhana sehingga masyarakat setempat dapat diberdayakan untuk mengelola dan merawatnya. Misalnya:
- Sistem parit gali yang berfungsi untuk menyalurkan air limpasan hujan ke arah menjauhi lereng yang rawan longsor.
- Saluran bambu dalam lereng dengan cara menusukkan pipa-pipa bambu yang dilubangi kedua ujungnya. Pipa ini ditusukkan pada bagian bawah lereng kurang lebih 1 m di atas titik-titik rembesan air yang keluar dari lereng. Panjang pipa minimal 2 meter. Untuk menghindari penyumbatan oleh butir-butir tanah yang ikut terbawa air, di dalam pipa dapat diberi filter berselang-seling berupa ijuk dan pasir .






Gambar 4.5 Saluran pengelak & saluran pembungan air
di daerah bukit
6. Pembuatan bangunan penahan material longsor
Konstruksi bangunan penahan material longsor bergantung pada volume longsor. Jika longsor termasuk kategori kecil, maka konstruksi bangunan penahan dapat menggunakan bahan yang tersedia di tempat, misalnya bambu, batang dan ranting kayu. Apabila longsor termasuk kategori besar, diperlukan konstruksi bangunan beton penahan yang permanen. Beton penahan ini umumnya dibangun di tebing jalan atau tebing sungai yang rawan longsor.










Gambar 4.6 Bangunan penahan longsor untuk katagori kecil


7. Relokasi
Relokasi merupakan pilihan terakhir dalam mitigasi bencana bila upaya teknis dan non teknis menjadi hal yang sulit atau tidak efisien untuk dilakukan. Melihat kondisi masyarakat di Desa Tawamangu yang banyak tinggal di daerah rawan bencana tanah longsor sehingga melalui pemerintah daerah masyarakat yang berada di daerah rawan bencana tanah longsor tersebut khususnya yang berada di tanah longsor di relokasi ke daerah yang dianggap relatif aman (Ranto, 2008).
Adapun cara yang paling tepat untuk hal ini adalah dengan melakukan sosialisasi kepada pihak pemerintah dan penduduk setempat di zona rawan longsor tentang cara praktis mengenali zona rawan longsor, tanda-tanda atau gejala-gejala awal longsoran dan bagaimana tindakan emergensinya untuk menyelamatkan diri dari longsoran. Sosialisasi/penyebar luasan informasi ini sebaiknya dapat dilakukan secara lebih gencar, misalnya melalui tayangan televisi dan radio yang diputar minimal tiga kali sehari menjelang dan selama musim hujan. Selain itu, apabila hujan deras turun atau hujan tidak deras turun terus menerus selama lebih dari 1 jam, disarankan sementara menyingkir dari daerah pada lereng dan di bawah lereng yang rawan longsor, jangan menimbulkan getaran pada lereng, dan jangan melakukan penggalian pada bagian kaki lereng.

A. Kendala yang Dihadapi Di Lapangan
Dari hasil pengamatan di lapangan ternyata banyak ditemui kendala-kendala diantaranya sistim peringatan dini tidak berfungsi dengan baik. Faktor kesadaran dan perhatian warga masih kurang terhadap alat-alat tersebut. Banyak alat-alat yang sudah tidak berfungsi dengan baik seperti putusnya tali extensometer, kertas milimeter yang tidak pernah diganti, alat penakar curah hujan yang diisi pasir, dan masih banyak lagi kendala-kendala yang lain. Ternyata secanggih apapun teknologi yang kita pasang, tanpa peran serta dan kesadaran dari masyarakat akan sia-sia.



B. Upaya Meminimalisir Bencana Longsor
Untuk meminimalisir dampak bencana tanah longsor di Kel. Tawangmangu, telah dilakukan upaya-upaya sebagai berikut :
1. Pemasangan sistim peringatan dini berbasis masyarakat (early warning system) di beberapa titik lokasi yang telah mengalami retakan. Alat ini berupa extensometer dan alat penakar curah hujan yang dilengkapi dengan sirene,
2. Melakukan sosialisasi kepada warga tentang bahaya dan penyebab longsoran, selain itu dilakukan sosialisasi tentang manfaat, pemeliharaan dan perawatan alat agar bisa berfungsi dengan baik,
3. Pelatihan pengoperasian alat peringatan dini kepada masyarakat,
4. Pemetaan jalur evakuasi warga pada saat terjadi longsor,
5. Himbauan untuk menutup retakan-retakan dengan tanah lempung agar air tidak meresap ke dalam lereng. Jangan menggunakan lempung yang sensitive seperti montmorillonit.
















BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas dan analisis geologi maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Tipe longsoran yang terjadi di Desa Ngledoksari Kec. Tawangmangu dan Desa Nglegok merupakan jenis longsoran Type Rotasi (Rotational Slides), sedangkan untuk Desa Tengklik Type longsoran adalah Translational (Translational Slides), dengan bidang luncur berupa breksi andesit dan massa tanah yang bergerak merupakan tanah lempung pasiran hasil pelapukan breksi andesit tersebut.
2. Longsoran tanah tersebut terjadi karena dikontrol oleh kondisi kecuraman lereng dengan tekuk lereng atau perubahan kemiringan lereng yang drastis, serta ketidakstabilan tumpukan tanah lempung pasiran yang bersifat lepas-lepas atau gembur.
3. Faktor penyebab terjadinya longsor yaitu adanya infiltrasi air kedalam lereng-lereng akibat air hujan dan aktivitas manusia yaitu penggalian atau pemotongan pada lereng dan pembebanan merupakan pemicu yang bersifat non alamiah.
4. Pemasangan sejumlah instrumen Early Warning System dimaksudkan untuk memprediksi pergerakan tanah baik arah dan besar volume material yang akan longsor.
5. Kejadian longsor pada lahan yang rentan dapat diminimalkan apabila proses-proses pemicu longsoran dapat dihindari atau dikontrol, misalnya dengan membuat saluran permukaan dan bawah permukaan guna menghindari peningkatan tekanan air pori dalam lereng, serta dengan menghindari pembukaan lahan oleh perladangan dan pemukiman.


5.2 Saran
1. Perlunya penambahan alat extensometer, tiltmeter, alat penakar curah hujan di tempat-tempat yang rawan longsor.
2. Perlu adanya penanganan longsor dengan pendekatan vegetatif dan penanganan pendekatan mekanis atau sipil teknis berupa perancangan suatu sistem pengelolaan air dan drainase yang tepat dan sederhana sehingga masyarakat setempat dapat diberdayakan untuk mengelola dan merawatnya.
3. Perlu penambahan alat Early Warning System (EWS), dan pemasangan yang tepat di lokasi yang memiliki pergerakan yang aktif.
4. Diharapkan adanya kerja sama yang baik antara pihak masyarakat, swasta dan pemerintah dalam pemeliharaan dan pengembangan alat EWS melalui sosialisasi kepada pihak pemerintah dan penduduk setempat di zona rawan longsor tentang cara praktis mengenali zona rawan longsor, tanda-tanda atau gejala-gejala awal longsoran dan bagaimana tindakan emergensinya untuk menyelamatkan diri dari longsoran.
5. Mengosongkan lereng dari kegiatan manusia. Apabila gejala awal terjadinya gerakan tanah telah muncul, terutama pada saat hujan lebat atau hujan tidak lebat tetapi berlangsung terus menerus sepanjang hari, segera kosongkan lereng dari kegiatan manusia. Meskipun hujan telah reda, selama satu atau dua hari, jangan kembali terlebih dahulu ke lereng yang sudah mulai menunjukkan gejala akan longsor.
6. Pembuatan sistim drainase bawah tanah, yaitu dengan menggunakan pipa/bambu/paralon, untuk menguras dan mengalirkan air hujan yang meresap masuk ke lereng.
7. Memberikan perlindungan terhadap alat EWS yang telah terpasang seperti pemagaran, agar tidak disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu





DAFTAR PUSTAKA


Hardiyatmo, H. C., 2006, Penanganan Tanah Longsor dan Erosi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

http:/www.google.com.

Karnawati, D., 2005, Geologi Umum dan Teknik, Handout S2 Geoteknik Jurusan Teknik Sipil UGM, Yogyakarta.

BNPB, 2008, Sistem Peringatan Dini Bahaya Longsor Kec. Tawangmangu, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

The Japan Landslide Society National Conference of Landslide Control, 1996, Landslides in Japan The Fifth Revision, Japan

Suharyadi, M.S., 2006, Geologi Teknik, Edisi 5, Biro Penerbit, Yogyakarta.

Fathani, T.F., 2008, Rock Slope Stability, Bahan Kuliah Geoteknik