Translate

19 Agustus, 2009

Laporan Field Trip

Longsor di Desa Ledoksari, Desa Tengklik Kecamatan Tawangmangu, dan Desa Nglegok Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik dan Lempeng Australia yang saling bertumbukan. Konsekuensi dari tumbukan itu adalah terbentuk palung samudera, lipatan, perbukitan, patahan di busur kepulauan, sebaran gunung api, dan sebaran sumber gempabumi. Berdasarkan tinjauan topografi, hal tersebut akan mengakibatkan wilayah Indonesia banyak terdiri dari pegunungan dengan kemiringan terjal hingga sedang. Jenis tanah pelapukan yang sering dijumpai di Indonesia adalah hasil letusan gunungapi. Tanah ini memiliki komposisi sebagian besar lempung dengan sedikit pasir dan bersifat subur. Tanah pelapukan yang berada di atas batuan kedap air pada perbukitan/punggungan dengan kemiringan sedang hingga terjal berpotensi mengakibatkan tanah longsor pada musim hujan dengan curah hujan berkuantitas tinggi. Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa banyak wilayah di Indonesia yang rawan terhadap bencana tanah longsor (Vulcanic Survey of Indonesia, 2005).
Bencana alam longsoran tanah yang banyak terjadi di Indonesia, merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah pada lereng – lereng alam. Gerakan massa (mass movement) tanah atau sering disebut tanah longsor (landslide) merupakan salah satu bencana alam yang sering melanda daerah perbukitan di daerah tropis basah. Gerakan tanah ataupun longsoran akan dikategorikan sebagai bencana apabila terjadi pada daerah yang dihuni oleh manusia, atau pada daerah tempat kegiatan manusia. Jadi aspek kehadiran manusia atau terpengaruhnya aktivitas manusia sangat penting dalam menetapkan apakah suatu gerakan tanah atau longsoran dianggap sebagai bencana atau tidak (Karnawati, 2005). Kerusakan yang ditimbulkan oleh gerakan massa tersebut tidak hanya kerusakan secara langsung seperti rusaknya fasilitas umum, lahan pertanian, ataupun adanya korban manusia, akan tetapi juga kerusakan secara tidak langsung yang melumpuhkan kegiatan pembangunan dan aktivitas ekonomi di daerah bencana dan sekitarnya. Bencana alam gerakan massa tersebut cenderung semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia. (Hardiyatmo,2006).
Secara Topografi Kabupaten Karanganyar terletak pada ketinggian antara 1022 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan titik koordinat pada titik 7o 40’ 0” Selatan, 111o 7’ 0” Timur, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Karanganyar, sekitar 14 km sebelah timur Kota Surakarta. Kabupaten Karanganyar memiliki sebuah kecamatan yang terletak diantara Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, dan Kota Surakarta. Jumlah penduduk di Kabupaten Karanganyar adalah sebanyak 813.000 jiwa di Tahun 2003, dengan kepadatan penduduknya 1.053 jiwa/km2 luas wilayah 772.20 Km2. Kabupaten Karanganyar terdiri dari 17 Kecamatan yang terdiri dari Colomadu, Jaten, Jatiyoso, Jumantono, Karanganyar, Gondangrejo, Jatipuro, Jenawi, Jumapolo, Karangpandan, Kebakkramat, Kerjo, Matesih, Mojogedang, Ngargoyoso, Tasikmadu dan Tawangmangu.

Kondisi geografis Kabupaten Karanganyar berada pada lereng Barat Daya gunung Lawu, dengan morfologi bergelombang lemah hingga kuat dan kemiringan lereng bervariasi mulai dari datar (<10o) hingga mencapai tegak. Dari analisis citra satelit menunjukan tingkat kerentanan gerakan tanah di Kabupaten Karang Anyar teridentifikasi sebagai zona dengan tingkat kerentanan gerakan tanah menengah hingga tinggi, wilayah yang rentan bergerak dengan kerentanan tinggi mencapai 80 % dari luas area kabupaten tersebut. Gerakan longsoran tanah yang terjadi di Desa Ngledoksari, Tenglik dan Nglegok Kecamatan Tawangmangu, disebabkan oleh kondisi lereng yang terjal kemiringan lereng mencapai 50o serta ketidakstabilan tanah pasir lempungan yang menutupi lereng yang kemudian dipicu oleh infiltrasi air hujan dan perubahan tata guna lahan. Program S2 Geoteknik Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada merupakan lembaga pendidikan yang diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap berbagai masalah bidang geoteknik termasuk tanah longsor. Untuk memperdalam dan mengetahui secara kondisi lapangan tentang terjadinya tanah longsor telah dilakukan kunjungan lapangan (fieldtrip), ke salah satu lokasi daerah rawan longsor yang terletak di Desa Ngledoksari, Desa Tenglik dan Desa Nglegok Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Diharapkan dengan adanya kunjungan lapangan tersebut akan semakin membuka cakrawala berpikir mahasiswa tentang bencana longsor dan penanganannya. B. Maksud dan Tujuan Maksud dari dilaksanakannya kegiatan field study di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar adalah untuk semakin memperdalam pengetahun mahasiswa tentang fenomena longsor seperti yang telah dipelajari dalam Mata Kuliah Longsor dan Assesment di Program S2 Geoteknik JTSL FT UGM. Adapun tujuan dengan dilaksanakanya kunjungan lapangan, mahasiswa diharapkan dapat: 1. Mengetahui dan mengidentifikasi tipe dan arah pergerakan tanah. 2. Mengetahui secara garis besar parameter – parameter yang menjadi penyebab dan pemicu terjadinya pergerakan tanah. 3. Mengetahui instrumen yang dipasang di lapangan sebagai upaya mitigasi yang dilakukan, salah satunya sistem peringatan dini berbasis masyarakat yang sederhana (low cost early warning system), alat real time yang ada dan jalur evakuasi yang direkomendasikan pada saat terjadi bencana tanah longsor. 4. Mengetahui masalah – masalah yang terjadi di lapangan terkait dengan instrumen yang dipasang di lapangan dan kesiapan masyarakat dalam menerima sistem peringatan dini tersebut. 5. Memberikan rekomendasi mitigasi bencana dan penanggulangannya. 6. Mengetahui sistim evakuasi dini. C. Manfaat Field Study Manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya studi lapangan di Desa Ngledoksari, Desa Tenglik dan Desa Nglegok Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar antara lain : 1. Memberikan pengetahuan secara langsung kondisi lokasi pergerakan tanah di Desa Kalitlaga dan cara penanggulangan bencana tanah longsor yang efisien. 2. Dengan mengetahui peralatan untuk memantau pergerakan tanah di lokasi dapat meminimalisir resiko akibat pergerakan tanah. D. Pelaksanaan dan Lokasi Field Study Lokasi Kunjungan Lapangan adalah di Desa Ngledoksari, Desa Tenglik dan Desa Nglegok Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Sedangkan kunjungan dilaksanakan pada tanggal 12 Maret 2009. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Gerakan Massa dan Longsoran Longsoran (landslide) adalah pergerakan suatu massa batuan, tanah atau bahan rombakan material penyusun lereng (yang merupakan percampuran tanah dan batuan) menuruni lereng (Cruden, 1991 dalam Karnawati 2005). Namun sebelumnya Varnes (1978) dalam Karnawati (2005) mengusulkan terminologi gerakan lereng (slope movement) yang dianggap lebih tepat untuk mendefinisikan longsoran, yaitu sebagai gerakan material penyusun lereng ke arah bawah atau keluar lereng dibawah pengaruh gravitasi bumi. Sedangkan Brunsden (1984) dalam Karnawati (2005) mengusulkan istilah gerakan massa (mass movement) yang dianggap lebih tepat dipakai dalam mendefinisikan proses gerakan massa penyusun lereng, daripada istilah longsoran (landslide) yang lebih populer dikenal masyarakat. Selby (1993) dalam Karnawati (2005) lebih lanjut menjelaskan bahwa longsoran (landslide) hanya tepat diterapkan pada proses pergerakan massa yang melalui suatu bidang gelincir (bidang luncur) yang jelas. Gerakan massa tanah / batuan (termasuk juga longsoran) sebenarnya merupakan bagian dari proses evolusi atau perubahan dinamik suatu bentang alam. Proses tersebut merupakan proses alamiah (umumnya merupakan proses eksogenik), khususnya proses transportasi atau pergerakan sebagian massa penyusun lereng (mass wasting process), yang kemudian diikuti oleh proses pengendapan (sedimentasi) material yang tertransport. Apabila material yang bergerak / longsor tersebut terendapkan pada lahan dengan gradien hidrolika masih cukup tinggi, atau membentuk endapan dengan kemiringan lereng yang masih cukup curam, maka endapan tersebut masih dapat mengalami gangguan kestabilan, sehingga endapan tersebut dapat bergerak lagi menuruni atau keluar lereng sampai akhirnya mencapai posisi yang stabil. Jelaslah bahwa secara evolusif suatu lereng yang tidak stabil karena curam ataupun tersusun oleh tumpukan tanah yang tebal, akan berevolusi menuju kondisi lebih stabil setelah mengalami proses pelapukan, erosi dan transportasi. B. Tipe dan Jenis Gerakan Tanah Gerakan massa (mass movement) merupakan gerakan massa tanah yang besar di sepanjang bidang longsor kritisnya. Gerakan massa tanah ini merupakan gerakan ke arah bawah material pembentuk lereng, yang dapat berupa tanah, batu, timbunan buatan atau campuran dari material lainnya. Menurut Cruden dan Varnes (1992), karakteristik gerakan massa pembentuk lereng dapat dibagi menjadi lima bagian antara lain ; 1. Type Jatuhan (falls) Gerakan jatuh material pembentuk lereng tanah atau batuan di udara dengan tanpa adanya interaksi antara bagian-bagian material yang longsor. Jatuhan terjadi tanpa adanya bidang longsor dan banyak terjadi pada lereng terjal atau tegak yang terdiri dari batuan yang mempunyai bidang-bidang tidak menerus (diskontinuitas). 2. Type Robohan (topples) Gerakan material roboh dan biasanya terjadi pada lereng batuan yang sangat terjal sampai tegak yang mempunyai bidang-bidang ketidakmenerusan yang relatif vertikal. Tipe gerakan ini hampir sama dengan jatuhan, hanya gerakan batuan longsor adalah mengguling hingga roboh yang berakibat batuan lepas dari permukaan lerengnya. Faktor utama yang menyebabkan robohan adalah seperti halnya kejadian jatuhan batuan, yaitu air yang mengisi retakan. 3. Type Longsoran (Slides) Gerakan material pembentuk lereng yang diakibatkan oleh terjadinya kegagalan geser di sepanjang satu atau lebih bidang longsor. Massa tanah yang bergerak bisa menyatu atau terpecah-pecah 4. Type Sebaran (Spreads) Sebaran termasuk longsoran translasional disebut juga sebaran lateral (lateral spreading), adalah kombinasi dari meluasnya massa tanah dan turunnya massa batuan terpecah-pecah ke dalam material lunak di bawahnya. Permukaan bidang longsor tidak berada dilokasi terjadinya geseran terkuat. Sebaran dapat terjadi akibat liquefaction tanah granuler atau keruntuhan tanah kohesif lunak di dalam lereng (Schuster & Fleming, 1982). 5. Type Aliran (Flows) Gerakan hancuran material ke bawah lereng dan mengalir seperti cairan kental. Aliran sering terjadi dalam bidang geser relatif sempit. Material yang terbawa oleh aliran dapat terdiri dari berbagai macam partikel tanah termasuk batu-batu besar, kayu-kayuan, ranting dan lain-lain. C. Faktor Penyebab Gerakan Massa Tanah / Batuan Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar daripada gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban serta berat jenis tanah batuan. 1. Hujan Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan 2. Tanah yang kurang padat dan tebal Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih dari 20o Tanah jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas. 3. Lereng terjal Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 180o apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar. 4. Batuan yang kurang kuat Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal. 5. Jenis tata lahan Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. 6. Getaran / gempa bumi Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempabumi, ledakan, getaran mesin, dan getaran lalulintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah menjadi retak 7. Adanya beban tambahan Adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng, dan kendaraan akan memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor, terutama di sekitar tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah sering terjadinya penurunan tanah dan retakan yang arahnya ke arah lembah. 8. Penggundulan hutan Tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif gundul dimana pengikatan air tanah sangat kurang D. Karakteristis Daerah Rawan Longsor Dalam kawasan ini sering dijumpai alur-alur dan mata air, yang pada umumnya berada di lembah-lembah dekat sungai. Kawasan dengan kondisi seperti di atas, pada umumnya merupakan kawasan yang subur, sehingga banyak dimanfaatkan untuk kawasan budidaya, terutama pertanian dan permukiman. Kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terkait dengan tingkat kerentanan kawasan terhadap longsoran, mengakibatkan masyarakat kurang siap dalam mengantisipasi bencana, sehingga dampak yang ditimbulkan apabila terjadi bencana longsor, akan menjadi lebih besar. Pada umumnya kawasan rawan longsor merupakan kawasan : 1. Dengan tingkat curah hujan rata-rata yang tinggi, atau 2. Kawasan rawan gempa, serta dicirikan dengan kondisi kemiringan lereng lebih curam dari 20o. Disamping kawasan dengan karakteristik tersebut di atas, beberapa kawasan yang dikatagorikan sebagai kawasan rawan longsor, meliputi: 1. Lereng-lereng pada Kelokan Sungai, akibat proses erosi atau penggerusan oleh aliran sungai pada bagian kaki lereng. 2. Daerah Tekuk Lereng, yaitu peralihan antara lereng curam ke lereng landai, yang ada permukimaannya, karena berdasarkan penelitian pada kondisi hidrologi lereng, (Karnawati, 2000) menjelaskan bahwa daerah tekuk lereng cenderung menjadi zona akumulasi air yang meresap dari bagian lereng yang lebih curam. Akibatnya daerah tekuk lereng sangat sensitif mengalami peningkatan tekanan air pori, yang akhirnya melemahkan ikatan antar butir-butir partikel tanah dan memicu terjadinya longsoran. 3. Daerah yang dilalui Struktur Patahan (Sesar), yang menjadi kawasan permukiman. Daerah ini dicirikan oleh adanya lembah/sungai dengan lereng curam (> 40o) dan dan tersusun oleh batuan yang terkekarkan (retak-retak) secara intensif atau rapat, serta ditandai dengan munculnya beberapa mata air pada sungai/lembah tersebut. Retakan-retakan batuan tersebut dapat mengakibatkan lereng mudah terganggu kestabilannya, sehingga dapat terjadi jatuhan atau luncuran batuan apabila air meresap dalam retakan saat hujan, atau apabila terjadi getaran pada lereng.

E. Tingkat Kerawanan Daerah Rawan Longsor
Tingkat kerawanan ditetapkan berdasarkan kajian atau evaluasi terhadap :
 kondisi alam (dalam hal ini kemiringan lereng, lapisan tanah/batuan, struktur geologi, curah hujan, dan geohidrologi lereng),
 pemanfaatan lereng,
 kepadatan penduduk dalam suatu kawasan, serta
 kesiapan penduduk dalam mengantisipasi bencana longsor.
Pedoman ini disusun secara khusus untuk kawasan rawan bencana longsor, yaitu mencakup kawasan yang rentan mengalami gerakan tanah, tetapi masih dimanfaatkan untuk kegiatan atau kepentingan manusia, yang tingkat kewaspadaan dan kesiapan mengantisipasi terjadinya bencana longsor, masih relatif rendah.

Variasi tingkat kerawanan suatu kawasan rawan bencana longsor, dibedakan menjadi:
(1) Kawasan dengan Tingkat Kerawanan Tinggi
Merupakan kawasan dengan potensi yang tinggi untuk mengalami gerakan tanah dan cukup padat pemukimannya, atau terdapat konstruksi bangunan sangat mahal atau penting. Kawasan ini sering mengalami gerakan tanah (longsoran), terutama pada musim hujan atau saat gempa bumi terjadi.
(2) Kawasan dengan Tingkat Kerawanan Menengah
Merupakan kawasan dengan potensi yang tinggi untuk mengalami gerakan tanah, namun tidak ada permukiman serta konstruksi bangunan yang terancam relatif tidak mahal dan tidak penting.
(3) Kawasan dengan Tingkat Kerawanan Rendah
Merupakan kawasan dengan potensi yang tinggi untuk mengalami gerakan tanah, namun tidak ada resiko terjadinya korban jiwa terhadap manusia ataupun resiko terhadap bangunan. Kawasan yang kurang berpotensi untuk mengalami longsoran, namun di dalamnya terdapat permukiman atau konstruksi penting/mahal, juga dikatagorikan sebagai kawasan dengan tingkat kerawanan rendah.
Pemanfaatan ruang untuk tiap tipologi kawasan rawan bencana longsor, ditetapkan dengan mempertimbangkan karakteristik tiap tipologi dan tingkat kerawanan terhadap bencana longsor. Secara garis besar, rekomendasi pemanfaatan ruang dapat disimpulkan sebagai berikut ;
Arahan Pemanfaatan Ruang
No Tingkat Kerawanan Arahan
1. Tingkat Kerawanan Tinggi Untuk Kawasan Lindung
(tidak layak dibangun)
sehingga MUTLAK DILINDUNGI
2. Tingkat Kerawanan Menengah Dapat dibangun/dikembangkan bersyarat
3. Tingkat Kerawanan Rendah Dapat dibangun/dikembangkan dengan sederhana




F. Mitigasi Bencana Tanah Longsor
Mitigasi bencana tanah longsor berarti segala usaha untuk meminimalisasi akibat terjadinya tanah longsor. Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menekan bahaya tanah longsor dibagi menjadi tiga yaitu :

1) Tahap awal (preventif)
Langkah pertama dalam upaya meminimalkan kerugian akibat bencana tanah longsor adalah :
a. Identifikasi daerah rawan dan pemetaan. Dari evaluasi terhadap lokasi gerakan tanah yang telah terjadi selama ini ternyata lokasi - lokasi kejadian gerakan tanah merupakan daerah yang telah teridentifikasi sebagai daerah yang memiliki kerentanan menengah hingga tinggi.
b. Penyuluhan pencegahan dan penanggulangan bencana alam gerakan tanah dengan memberikan informasi mengenai bagaimana dan kenapa tanah longsor, gejala gerakan tanah dan upaya pencegahan serta penangulangannya.
c. Pemantauan daerah rawan longsor dan dilakukan secara terus menerus dengan tujuan untuk mengetahui mekanisme gerakan tanah dan faktor penyebabnya serta mengamati gejala kemungkinan akan terjadinya longsoran
d. Pengembangan dan penyempurnaan manajemen mitigasi gerakan tanah baik dalam skala nasional, regional maupun lokal secara berkelanjutan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi.
e. Perencanaan pengembangan sistem peringatan dini di daerah rawan bencana.
f. Pola pengelolaan lahan untuk budidaya tanaman pertanian, perkebunan yang sesuai dengan azas pelestarian lingkungan dan kestabilan lereng.
g. Hindari bermukim atau mendirikan bangunan di tepi lembah sungai terjal.
h. Hindari melakukan penggalian pada daerah bawah lereng terjal yang akan mengganggu kestabilan lereng sehingga mudah longsor.
i. Hindari membuat pencetakan sawah baru atau kolam pada lereng yang terjal karena air yang digunakan akan mempengaruhi sifat fisik dan keteknikan yaitu tanah menjadi lembek dan gembur sehingga kehilangan kuat gesernya yang mengakibatkan tanah mudah bergerak.
j. Menyebarluasan informasi bencana gerakan tanah melalui berbagai media, baik secara formal maupun non formal.

2). Tahap bencana
a. Menyelamatkan warga yang tertimpa musibah
b. Pembentukan pusat pengendlian (Crisis Center).
c. Evakuasi korban ke tempat yang lebih aman.
d. Pendirian dapur umum, pos-pos kesehatan dan penyediaan air bersih.
e. Pendistribusian air bersih, jalur logistik, tikar dan selimut.
f. Pencegahan berjangkitnya wabah penyakit.
g. Evaluasi, konsultasi dan penyuluhan.

3) Tahap pasca bencana
a. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan tata ruang dalam upaya mempertahankan fungsi daerah resapan air.
b. Mengupayakan semaksimal mungkin pengembalian fungsi kawasan hutan lindung
c. Mengevaluasi dan memperketat studi AMDAL pada kawasan vital yang berpotensi menyebabkan bencana
d. Mengevaluasi kebijakan Instansi/Dinas yang berpengaruh terhadap terganggunya ekosistem
e. Penyediaan lahan relokasi penduduk yang bermukim di daerah bencana, sabuk hijau dan di sepanjang bantara sungai
f. Normalisasi areal penyebab bencana, antara lain seperti normalisasi aliran sungai dan bantara sungai dengan membuat semacam polder dan sudetan
g. Rehabilitasi sarana dan prasarana pendukung kehidupan masyarakat yang terkena bencana secara permanen (seperti : perbaikan sekolah, pasar, tempat ibadah, jalan, jembatan, tanggul, dll)
h. Menyelenggarakan forum kerjasama antar daerah dalam penanggulangan bencana

G. Sistim Pemantau Gerakan Longsoran

Tipe – tipe alat yang dipilih bergantung pada masalah yang dipantau. Aplikasi alat merupakan faktor kunci dalam mempertimbangkan tipe alat yang dipilih. Ketepatan pengukuran, harga, kondisi lingkungan dan keahlian personil yang menangani merupakan faktor – faktor yang harus dipertimbangkan. Alat – alat yang dipakai untuk memantau gerakan tanah dan bangunan pada umumnya adalah ekstensometer, pengukur penurunan, inklinometer, piezometer, sel beban (load cell) dan strain gage. Pemantauan yang sering dilakukan dilapangan biasanya karena keterbatasan dana maka minimal dipakai instrumen ekstensometer dan alat ukur curah hujan, sebab air hujan merupakan pemicu yang masih berkaitan dengan geologi yaitu masalah aliran air permukaan (ground water flow) yang diakibatkan adanya air hujan. Aliran air permukaan merupakan faktor yang dominan pula dalam mengkontribusi terjadinya longsor yang ditengarai oleh kecepatan dan volume air permukaan tersebut.
1. Ekstensometer
Ekstensometer digunakan untuk mengukur atau mendeteksi gerakan antara dua titik yang melintasi gerakan, alat ini juga harus memperlihatkan arah gerakan dengan tingkat ketelitian 0,2 mm. Ekstensometer ada dua jenis yaitu alat ukur mekanis (manual) dan elektronik (automatic). Pemasangan alat ini banyak mengalami masalah jika lereng sudah mengalami gerakan.

Gambar 2.14 Pemasangan alat Ekstensometer

2. Tiltmeter
Tiltmeter digunakan untuk memantau deformasi permukaan tanah yang terjadi akibat adanya gerakan yang terjadi pada lapisan di bawah tanah yang bergeser atau akan meluncur.

Gambar 2.15 Pemasangan alat Tiltmeter

3. Piezometer
Piezometer merupakan alat pantau terhadap tekanan air pori dalam tanah. Idealnya piezometer diletakkan pada kedalaman di mana terjadi perbedaan permeabilitas. Piezometer ini, dengan demikian akan mengukur tekanan air pori.

Gambar 2.16 Pemasangan alat Piezometer

4. Alat Ukur Curah Hujan (Rain Gauge)
Alat penakar curah hujan digunakan untuk mengukur besarnya curah hujan yang terjadi di lokasi mengingat hujan sebagai faktor pemicu longsoran.

Gambar 2.17 Pemasangan alat pengukur curah hujan















BAB III
INVESTIGASI LAPANGAN DAN PEMBAHASAN

A. Identifikasi Pengamatan Lapangan

Gerakan tanah di Desa Ngelodoksari, Tenglik dan Nglegok ini terlihat merupakan longsoran tanah pasir lempungan hasil lapukan dari breksi andesit yang relatif luas. Gerakan utama yang relatif besar dan luas ini ditandai dengan terbentuknya retakan. Massa tanah di dalam blok ini juga mengalami gerakan-gerakan lokal yang ditandai dengan munculnya retakan-retakan yang lebih kecil, sehingga massa tanah yang bergerak pada blok ini merupakan massa tanah yang labil dan berpotensi untuk bergerak secara lokal ataupun bersamaan.
Longsoran yang terjadi di Kec. Tawangmangu disebabkan oleh kondisi lereng yang terjal, kemiringan lereng mencapai 50o serta ketidak stabilan tanah pasir lempungan yang menutupi lereng, yang kemudian dipicu oleh infiltrasi air hujan dan perubahan tata guna lahan. Pembukaan lahan untuk perladangan mengakibatkan tanah menjadi gembur sehingga air hujan lebih intensif terinfiltrasi pada lahan yang berada diatas lereng.
Kelongsoran yang terjadi di Desa Ngelodoksari diakibatka oleh hujan yang terus menerus sehingga kelongsoran tersebut mengakibatkan 33 orang meninggal dunia dan merusak 3 rumah penduduk. Untuk Desa Tengklik tidak menimbulkan korban jiwa tetapi merusak beberapa rumah warga disekitarnya, sedangkan pada tanggal 31 Januari 2009 di Desa Nglegok menimbulkan 2 orang meninggal dunia dan merusak beberapa rumah warga, hujan berlangsung selama 4 jam dengan kondisi deras.
Dengan makin meningkatnya curah hujan, dikhawatirkan gerakan tanah masih akan terjadi lagi di beberapa lokasi lain di wilayah Karanganyar. Penyebab kejadian longsor ini perlu dianalisis untuk mengantisipasi bahaya gerakan tanah ataupun bahaya longsoran yang masih mungkin terjadi lagi di wilayah tersebut dan sekitarnya. Dari analisa geologi ini akan rentan bergerak serta faktor-faktor geologi pengontrol kerentanan lereng, sehingga dapat dilakukan upaya pengendalian kestabilan lereng untuk menghindari bencana longsor selanjutnya. Untuk mengurangi potensi kejadian longsor susulan ataupun longsor baru disekitarnya, disarankan agar dibuat sistem drainase lereng yang tepat guna meminimalkan infiltrasi air hujan, serta menghindari pemotongan lereng secara tak terkontrol dan perlu ditetapkan pula zona sempadan lereng untuk meminimalkan potensi kejadian longsor.

Gambar 3.1 Lokasi longsor di Desa Ngelodoksari

Gambar 3.2a Lokasi longsor di Desa Tengklik

Gambar 3.2b Retakan tanah menyebabkan
longsor di Desa Tengklik

Gambar 3.3a Lokasi longsor di Desa Nglegok

Gambar 3.3b Adanya air tanah yang mengalir menyebabkan
terjadinya longsor di Desa Nglegok













Gambar 3.4 Longsoran yang terjadi di Kec. Tawangmangu

B. Struktur Geologi

Wilayah Kabupaten Karanganyar berada pada lereng barat daya gunung Lawu, dengan morfologi bergelombang lemah hingga kuat dan kemiringan lereng bervariasi dari datar < 10o hingga mencapai tegak. Kabupaten Karanganyar wilayah yang rentan bergerak dengan kerentanan menengah dan kerentanan tinggi mencapai 80 % dari luas area kabupaten tersebut.
Peta Geologi Regional Lembar Ponorogo (Sampurno & Samodra, 1997), diketahui bahwa wilayah studi tersusun oleh batuan berumur Tersier yang merupakan batuan beku intrusi (Andesit), batu gamping terumbu dan kalkarenit (formasi Wonosari), serta batuan volkanik berumur Quarter yang terdiri dari breksi gunung api bersisipan lava andesit (formasi Jobolarangan), lava andesit (formasi Sidoramping dan formasi Jobolarangan), batuan gunung api Lawu berupa tuf dan breksi gunung api bersisipan lava andesit, lava andesit (lava Condrodimuka) dan lahar Lawu yang berupa komponen andesit basal dengan sedikit batu apung bercampur dengan pasir gunung api.


Gambar 3.5a Struktur geologi Kab. Karanganyar (Tawangmangu)

Gambar 3.5b Korelasi satuan peta Kab. Karanganyar (Tawangmangu)

Struktur geologi yang teridentifikas adalah berupa patahan-patahan geser dan patahan-patahan naik. Salah satu patahan yang teridentifikasi adalah Sesar Sidoramping yang berarah relative Utara-Selatan, memotong Gunung Lawu dan Gunung Sidoramping, serta Sesar Gunung lawu yang memotong kaki dan lereng Barat Gunung Lawu dengan arah relatif Barat Daya-Timur Laut. Berdasarkan kondisi regional tersebut di atas, dapat diperkirakan bahwa batuan yang rentan bergerak adalah batuan-batuan berumur Quarter yang tersusun oleh batuan volkanik berupa breksi gunung api dan tuf, terutama yang terpotong oleh sesar dan telah mengalami pelapukan. Batuan yang rentan tersebut umumnya terdapat pada lereng dengan kemiringan mencapai lebih dari 20o hingga 60o dengan kondisi Stratigrafi yang khas yang menunjukan salah satu ciri sebagai berikut ;
1. Tersusun oleh tumpukan tanah gembur lempung atau lempung pasirn hasil pelapukan breksi andesit, lava andesit atau tauf yang mencapai ketebalan 2 m atu lebih.
2. Tersusun oleh perlapisan batuan atau tanah yang miring ke arah lereng.
3. Merupakan batuan yang retak-retak.
4. Bongkahan-bongkahan batuan dengan diameter mencapai 2 meter.
Kombinasi antara berbagai kondisi geologi diatas yaitu kondisi kemiringan lereng, batuan serta adanya struktur patahan dan kekar-kekar, mengakibatkan lereng-lereng di wilayah Gunung Lawu dan perbukitan sekitarnya menjadi rentan bergerak (longsor).


Gambar 3.6 Struktur geologi di Desa Ngelodoksari

Gambar 3.7 Struktur geologi di Desa Tengklik

D. Monitoring Dan Evaluasi

Early warning System (EWS) atau pemasangan alat sistem peringatan dini yang merupakan bagian dari mitigasi bencana alam dilakukan dengan melibatkan masyarakat sehingga akan timbul kepedulian dan tanggung jawab terhadap alat yang dipasang dengan sistem kerja alat yang dapat dioperasikan dan dipahami dengan mudah. Alat sistem ini meskipun dibuat sederhana, hal ini tidak mengurangi kemampuan alat ini untuk mendeteksi pergerakan tanah yang berpotensi longsor, alat sistem ini cukup efektif digunakan sebagai alat peringatan dini. Pemasangan alat sistem ini bertujuan untuk memberi peringatan awal terhadap ancaman bencana tanah longsor juga untuk menghasilkan prototipe sistem atau teknologi peringatan dini bahaya tanah longsor yang nantinya akan dikembangkan kelokasi-lokasi rawan longsor lainnya.
Di Kec. Tawangmangu, antara lain di Desa Ngelodoksari dan Desa Tengklik telah dipasang alat sistem peringatan dini dengan menggabungkan beberapa alat seperti extensometer dan peralatan lainnya serta alat penakar curah hujan yang dihubungkan dengan sirene. Alat tersebut meliputi tiga unit alat deteksi gerakan permukaan atau rekahan tanah (manual), dua unit alat deteksi gerakan permukaan tanah dan satu unit alat deteksi hujan.

1. Lokasi pemasangan alat sistim peringatan dini
Extensometer :
Mengukur retakan akibat gerakan tanah arah lateral. Pada saat terjadi gerakan tanah, span ikut bergerak dan kawat (wire) pada Extensometer akan tertarik kemudian tercatat pada kertas milimeter. Gerakan sepanjang 4 cm akan mengirimkan signal dan sirene akan berbunyi. Adapun kelemahan pada alat ini yaitu pergerakan yang tercatat merupakan akumulatif dari pergerakan semula, sehingga kurang efektif .
Ekstensometer dihubungkan dengan sirine/alarm sebagai upaya peringatan dini kepada warga jika terjadi pergerakan tanah secara signifikan. Gerakan tanah yang terjadi akan menarik kawat ekstensometer, menggerakkan pengukur, memicu saklar sehingga sirine berbunyi. Instalasi listrik ekstensometer dipasang pada bagian rumah Penduduk. Operator alat EWS yang melakukakan pemantauan terhadap operasi dan pemeliharaan alat dipilih dari warga setempat sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat. Besarnya lebar retakan yang terpantau extensometer sehingga memicu sirine berbunyi dapat diatur sendiri oleh warga berdasarkan potensi bahayanya. Indikator lebar retakan pada daerah padat pemukiman dengan daerah ladang/persawahan akan berbeda.
- Desa Ngelodoksari dipasang 2 buah berada di atas puncak pemukiman penduduk dengan posisi alat tersebut ;
Extensometer -1 dengan koordinat perletakan S 07o 40’ 37.1” E 111o 07’ 24.0”
Extensometer -2 dengan koordinat perletakan S 07o 40’ 36.4” E 111o 07’ 24.6”


Gambar 3.8a Extensometer





Gambar 3.8b Lokasi Extensometer Desa Ngelodoksari


Gambar 3.9 Alat EWS pemantau gerakan tanah







- Desa Tengklik direncankan akan dipasang 2 buah karena Extensometer yang lama rusak atau hilang akibat terjadinya kelongsoran ;


Gambar 3.10a Rencan posisi -1 Extensometer
Desa Tengklik


Gambar 3.10b Rencan posisi -2 Extensometer
Desa Tengklik






Penakar curah hujan (Rain Gauge) :

Alat penakar curah hujan di depan rumah penduduk. Alat pengukur curah hujan ini juga dihubungkan dengan sirine yang akan memberikan tanda bahaya apabila curah hujan yang terjadi sudah melampaui batas aman.
Baik alat penakar hujan maupun ekstensometer dilengkapi dengan alarm sebagai peringatan dini bagi masyarakat. Instalasi listrik dan elektronik ditempatkan di dalam rumah warga dan operator dipilh dari warga.



Gambar 3.11a Alat penakar curah hujan

Gambar 3.11b Interior alat penakar curah hujan

Gambar 3.12 Skema sistim peringatan dini jika terjadi kelongsoran






BAB IV
PENANGANAN DAN PENANGGULANGAN LONGSORAN

Dari hasil pengamatan di lapangan bahwa kelongsoran di Kec. Tawangmangu diperlukan usaha untuk menstabilkan lereng dengan cara mengurangi driving force, dan memperbesar resistant force pada lereng, atau kombinasi keduanya. Metode stabilitas lereng dapat dilakukan secara fisis, mekanis, khemis, dan bioengineering, atau kombinasi antara keempatnya dengan memperhatikan kondisi lereng yang labil, sehingga dapat ditentukan metode yang paling tepat.
1. Metode stabilitas lereng secara fisis merupakan metode yang paling sederhana, usaha stabilisasinya dapat dilakukan dengan cara :
a. Segera menutup retakan dengan tanah kedap air yang dipadatkan untuk meminimumkan air hujan masuk ke dalam retakan, sehingga tidak akan menimbulkan naiknya tekanan hidrostatis atau lembeknya massa tanah yang bergerak. Rekahan dapat ditutup dengan tanah lempung, aspal, semen atau bahan kimia yang disesuaikan dengan jenis tanahnya. Tanah lempung yang digunakan sebaiknya adalah jenis tanah lempung yang tidak mudah mengembang jika jenuh air dan mengkerut jika kering.
b. Melandaikan lereng (cut and fill) dengan tujuan mengurangi besarnya sudut lereng. Pada badan jalan desa dari Desa Tengklik terdapat penurunan pada badan jalan yang cukup tinggi, sehingga dapat dilakukan cut and fill pada jalan yang mengalami penurunan agar dapat melandaikan jalan tersebut.

Gambar 4.1 Stabilitas dengan Cut & Fill


Gambar 4.2 Penurunan jalan akibat kelongsoran di
Desa Tengklik
c. Mengurangi beban di bagian atas lereng dengan memindahkan bangunan di bagian puncak yang rentan terhadap terjadinya longsor.
d. Memperbaiki dan menempatkan sistem drainase (surface drainage) atau drainase bawah permukaan (sub surface drainage) untuk mengevakuasi sebagian air terutama air hujan yang berinfiltrasi ke dalam tanah, agar tanah/batuan pembentuk lereng tidak menjadi oversaturated. Dasar saluran drainasi dibuat dengan bahan yang kedap air.
2. Metode stabilitas lereng secara mekanis dapat dilakukan dengan cara :
a. Menempatkan konstruksi penahan tanah (counterweight) seperti pemasangan kawat bronjong, pembuatan berm , tembok penahan baik berupa pasangan batu, pembuatan teras batu atau kayu, pasangan batu untuk perkuatan kaki lereng. Hal ini dapat dikerjakan pada lereng di Desa Tengklik dan Desa Nglegok yang memiliki bidang longsor cukup lebar.
b. Shotcrete untuk menutup permukaan lereng dari infiltrasi air hujan, spesifik material dari beton dan agregat terpilih sesuai dengan persyaratan, namun hal ini memerlukan biaya yang cukup besar sehingga menjadi tidak effektif jika dibagian bawah lereng tidak adanya pemukiman penduduk atau fasilaitas umum.
c. Membongkar bangunan rumah milik kepala desa yang sudah rusak akibat gerakan tanah, karena bangunan tersebut menambah beban berat tanah yang memicu terjadinya kelongsoran.

Gambar 4.3 Pembongkaran rumah utk mengurangi beban
3. Stabilisasi secara khemis merupakan usaha mencampurkan bahan tanah dengan semen atau bahan kapur, abu sekam padi , fly ash, grouting untuk meningkatkan kuat geser tanah, namun pemanfaatan bahan kimia ini perlu memperhatikan pengaruhnya terhadap lingkungan.
a. Injeksi semen di bagian lereng yang runtuh yang berfungsi untuk menahan gerak laju tanah yang longsor.
b. Injeksi kapur khusus tanah tercampur lempung atau lanau yang berguna untuk memperbesar kemampuan tegangan geser tanah, namun metode ini tidak efektif untuk jenis tanah pasiran.
4. Bioengineering adalah suatu usaha stabilisasi lereng dengan menutupi permukaan lereng yang terbuka dengan tanaman agar dapat mengurangi infiltrasi aliran air ke dalam tanah. Pilihan jenis tanaman lokal sebaiknya menjadi prioritas utama, karena selain akan menekan biaya yang dibutuhkan, tanaman lokal dapat lebih bertahan hidup. Jenis pohon yang tumbuh subur di daerah Tawangmangu adalah pohon Pinus.


Gambar 4.4 Metode Bioengineering untuk stabilitas lereng

5. Pembuatan saluran drainase (saluran pengelak, saluran penangkap, saluran pembuangan).
Tujuan utama pembuatan saluran drainase adalah untuk mencegah genangan dengan mengalirkan air aliran permukaan, sehingga kekuatan air mengalir tidak merusak tanah, tanaman, dan/atau bangunan konservasi lainnya. Di areal rawan longsor, pembuatan saluran drainase ditujukan untuk mengurangi laju infiltrasi dan perkolasi, sehingga tanah tidak terlalu jenuh air, sebagai faktor utama pemicu terjadinya longsor. Untuk itu perlu merancang suatu sistem pengelolaan air dan drainase yang tepat dan sederhana sehingga masyarakat setempat dapat diberdayakan untuk mengelola dan merawatnya. Misalnya:
- Sistem parit gali yang berfungsi untuk menyalurkan air limpasan hujan ke arah menjauhi lereng yang rawan longsor.
- Saluran bambu dalam lereng dengan cara menusukkan pipa-pipa bambu yang dilubangi kedua ujungnya. Pipa ini ditusukkan pada bagian bawah lereng kurang lebih 1 m di atas titik-titik rembesan air yang keluar dari lereng. Panjang pipa minimal 2 meter. Untuk menghindari penyumbatan oleh butir-butir tanah yang ikut terbawa air, di dalam pipa dapat diberi filter berselang-seling berupa ijuk dan pasir .






Gambar 4.5 Saluran pengelak & saluran pembungan air
di daerah bukit
6. Pembuatan bangunan penahan material longsor
Konstruksi bangunan penahan material longsor bergantung pada volume longsor. Jika longsor termasuk kategori kecil, maka konstruksi bangunan penahan dapat menggunakan bahan yang tersedia di tempat, misalnya bambu, batang dan ranting kayu. Apabila longsor termasuk kategori besar, diperlukan konstruksi bangunan beton penahan yang permanen. Beton penahan ini umumnya dibangun di tebing jalan atau tebing sungai yang rawan longsor.










Gambar 4.6 Bangunan penahan longsor untuk katagori kecil


7. Relokasi
Relokasi merupakan pilihan terakhir dalam mitigasi bencana bila upaya teknis dan non teknis menjadi hal yang sulit atau tidak efisien untuk dilakukan. Melihat kondisi masyarakat di Desa Tawamangu yang banyak tinggal di daerah rawan bencana tanah longsor sehingga melalui pemerintah daerah masyarakat yang berada di daerah rawan bencana tanah longsor tersebut khususnya yang berada di tanah longsor di relokasi ke daerah yang dianggap relatif aman (Ranto, 2008).
Adapun cara yang paling tepat untuk hal ini adalah dengan melakukan sosialisasi kepada pihak pemerintah dan penduduk setempat di zona rawan longsor tentang cara praktis mengenali zona rawan longsor, tanda-tanda atau gejala-gejala awal longsoran dan bagaimana tindakan emergensinya untuk menyelamatkan diri dari longsoran. Sosialisasi/penyebar luasan informasi ini sebaiknya dapat dilakukan secara lebih gencar, misalnya melalui tayangan televisi dan radio yang diputar minimal tiga kali sehari menjelang dan selama musim hujan. Selain itu, apabila hujan deras turun atau hujan tidak deras turun terus menerus selama lebih dari 1 jam, disarankan sementara menyingkir dari daerah pada lereng dan di bawah lereng yang rawan longsor, jangan menimbulkan getaran pada lereng, dan jangan melakukan penggalian pada bagian kaki lereng.

A. Kendala yang Dihadapi Di Lapangan
Dari hasil pengamatan di lapangan ternyata banyak ditemui kendala-kendala diantaranya sistim peringatan dini tidak berfungsi dengan baik. Faktor kesadaran dan perhatian warga masih kurang terhadap alat-alat tersebut. Banyak alat-alat yang sudah tidak berfungsi dengan baik seperti putusnya tali extensometer, kertas milimeter yang tidak pernah diganti, alat penakar curah hujan yang diisi pasir, dan masih banyak lagi kendala-kendala yang lain. Ternyata secanggih apapun teknologi yang kita pasang, tanpa peran serta dan kesadaran dari masyarakat akan sia-sia.



B. Upaya Meminimalisir Bencana Longsor
Untuk meminimalisir dampak bencana tanah longsor di Kel. Tawangmangu, telah dilakukan upaya-upaya sebagai berikut :
1. Pemasangan sistim peringatan dini berbasis masyarakat (early warning system) di beberapa titik lokasi yang telah mengalami retakan. Alat ini berupa extensometer dan alat penakar curah hujan yang dilengkapi dengan sirene,
2. Melakukan sosialisasi kepada warga tentang bahaya dan penyebab longsoran, selain itu dilakukan sosialisasi tentang manfaat, pemeliharaan dan perawatan alat agar bisa berfungsi dengan baik,
3. Pelatihan pengoperasian alat peringatan dini kepada masyarakat,
4. Pemetaan jalur evakuasi warga pada saat terjadi longsor,
5. Himbauan untuk menutup retakan-retakan dengan tanah lempung agar air tidak meresap ke dalam lereng. Jangan menggunakan lempung yang sensitive seperti montmorillonit.
















BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas dan analisis geologi maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Tipe longsoran yang terjadi di Desa Ngledoksari Kec. Tawangmangu dan Desa Nglegok merupakan jenis longsoran Type Rotasi (Rotational Slides), sedangkan untuk Desa Tengklik Type longsoran adalah Translational (Translational Slides), dengan bidang luncur berupa breksi andesit dan massa tanah yang bergerak merupakan tanah lempung pasiran hasil pelapukan breksi andesit tersebut.
2. Longsoran tanah tersebut terjadi karena dikontrol oleh kondisi kecuraman lereng dengan tekuk lereng atau perubahan kemiringan lereng yang drastis, serta ketidakstabilan tumpukan tanah lempung pasiran yang bersifat lepas-lepas atau gembur.
3. Faktor penyebab terjadinya longsor yaitu adanya infiltrasi air kedalam lereng-lereng akibat air hujan dan aktivitas manusia yaitu penggalian atau pemotongan pada lereng dan pembebanan merupakan pemicu yang bersifat non alamiah.
4. Pemasangan sejumlah instrumen Early Warning System dimaksudkan untuk memprediksi pergerakan tanah baik arah dan besar volume material yang akan longsor.
5. Kejadian longsor pada lahan yang rentan dapat diminimalkan apabila proses-proses pemicu longsoran dapat dihindari atau dikontrol, misalnya dengan membuat saluran permukaan dan bawah permukaan guna menghindari peningkatan tekanan air pori dalam lereng, serta dengan menghindari pembukaan lahan oleh perladangan dan pemukiman.


5.2 Saran
1. Perlunya penambahan alat extensometer, tiltmeter, alat penakar curah hujan di tempat-tempat yang rawan longsor.
2. Perlu adanya penanganan longsor dengan pendekatan vegetatif dan penanganan pendekatan mekanis atau sipil teknis berupa perancangan suatu sistem pengelolaan air dan drainase yang tepat dan sederhana sehingga masyarakat setempat dapat diberdayakan untuk mengelola dan merawatnya.
3. Perlu penambahan alat Early Warning System (EWS), dan pemasangan yang tepat di lokasi yang memiliki pergerakan yang aktif.
4. Diharapkan adanya kerja sama yang baik antara pihak masyarakat, swasta dan pemerintah dalam pemeliharaan dan pengembangan alat EWS melalui sosialisasi kepada pihak pemerintah dan penduduk setempat di zona rawan longsor tentang cara praktis mengenali zona rawan longsor, tanda-tanda atau gejala-gejala awal longsoran dan bagaimana tindakan emergensinya untuk menyelamatkan diri dari longsoran.
5. Mengosongkan lereng dari kegiatan manusia. Apabila gejala awal terjadinya gerakan tanah telah muncul, terutama pada saat hujan lebat atau hujan tidak lebat tetapi berlangsung terus menerus sepanjang hari, segera kosongkan lereng dari kegiatan manusia. Meskipun hujan telah reda, selama satu atau dua hari, jangan kembali terlebih dahulu ke lereng yang sudah mulai menunjukkan gejala akan longsor.
6. Pembuatan sistim drainase bawah tanah, yaitu dengan menggunakan pipa/bambu/paralon, untuk menguras dan mengalirkan air hujan yang meresap masuk ke lereng.
7. Memberikan perlindungan terhadap alat EWS yang telah terpasang seperti pemagaran, agar tidak disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu





DAFTAR PUSTAKA


Hardiyatmo, H. C., 2006, Penanganan Tanah Longsor dan Erosi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

http:/www.google.com.

Karnawati, D., 2005, Geologi Umum dan Teknik, Handout S2 Geoteknik Jurusan Teknik Sipil UGM, Yogyakarta.

BNPB, 2008, Sistem Peringatan Dini Bahaya Longsor Kec. Tawangmangu, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

The Japan Landslide Society National Conference of Landslide Control, 1996, Landslides in Japan The Fifth Revision, Japan

Suharyadi, M.S., 2006, Geologi Teknik, Edisi 5, Biro Penerbit, Yogyakarta.

Fathani, T.F., 2008, Rock Slope Stability, Bahan Kuliah Geoteknik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar